Tuesday, July 27, 2010

MONCONG SENJATA DIBALIK LAPAK YANG HILANG

Oleh Erlinus Thahar

Kini lapak-lapak itu telah menjadi trotoar berpagar besi, sejak tergusur beberapa bulan lalu. Memang, tidak ada papan larangan berjualan di sana, tetapi pagar besi sepanjang trotoar depan mal terbesar di Cirebon itu seakan sudah berbicara, bahwa lapaknya adalah masalalu. Hadi (33 th) dipaksa untuk melupakannya. Hadi, sebagaimana pedagang kaki lima lainnya, bukannya tidak tahu bahwa berjualan di trotoar dilarang menurut Perda Kota Cirebon No. 9 Tahun 2003.
Mengingat peristiwa itu, hati Hadi jadi geram.
Sebagai pedagang nasi lengko, suatu kali Hadi merasa bangga masuk televisi, disebut sebagai pelestari kuliner khas Cirebon. Dia pernah merasa sebagai salah satu penyelamat kekayaan intelektual Cirebon, meski hanya dengan berjualan nasi lengko.
Waktu itu dengan bersemangat dia bercerita tentang Cirebon dengan segala perniknya kepada para tamu yang masuk ke lapaknya, yang dia identifikasinya dari luar kota. Dia merasa menjadi bagian dari promosi wisata kota tempat tinggalnya.
Tapi itu dulu. Kini, untuk bertahan menghidupi keluarganya ia hanya berjualan teh botol gerobak. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, meskipun masih disekitar mal tersebut. Usiran satpam mal dan petugas Satpol PP yang kebetulan berpatroli acapkali dia terima.
Hadi tidak mengerti, kenapa dalam sekejap semuanya berubah. Kebanggaannya menjadi warga kota ini tiba-tiba runtuh bersamaan dengan hilangnya lapaknya dan betapa sulitnya dia menghidupi keluarganya kini. Apalagi ketika harus melihat kenyataan bahwa anaknya yang terbesar terpaksa harus putus sekolah karena ketiadaan biaya. Dia tidak sanggup membayar “uang gedung” yang terasa cukup besar. Hei kemana orang-orang yang seakan dulu membanggakannya itu?
***

Kegeraman itu makin mengeras.
Di matanya kembali berputar bayangan petugas-petugas Satpol PP yang berwajah beringas itu, yang sangat bernafsu sekali untuk membongkar lapaknya. Bersama kawan-kawannya ingin sekali ia membalas tatapan garang para petugas satpol PP itu dengan lemparan batu. Namun koordinator kelompok PKL di wilayahnya berteriak-teriak untuk mencegah aksi anarkhis. Meskipun pada akhirnya terjadi bentrokan, tetapi tidak lama.
Di televisi, dia menyaksikan betapa teman-teman seprofesinya (PKL) di daerah lain, bernasib lebih buruk darinya. Tidak hanya terusir, tetapi dianiaya oleh sejumlah oknum Satpol PP. Korbannya tidak tanggung-tanggung, dari anak kecil hingga orang tua.
Hadi tidak mengerti kenapa para anggota Satpol PP itu belakangan makin beringas. Dulu tak seperti itu. Hadi bersama teman-teman komunitas PKL pernah melakukan kerja bakti bersama membersihkan saluran air dan got-got sepanjang jalan di Cirebon, pernah pula melakukan touring sepeda motor bersama ke sebuah tempat wisata.
Yang paling tidak dia mengerti lagi, belakangan dari televisi dia mendengar bahwa anggota Satpol PP akan diberi perlengkapan senjata api. Kenapa Satpol PP sepertinya sekarang lebih garang ketimbang polisi atau bahkan tentara? Kenapa Satpol PP sekarang tidak punya belas kasihan ketika menggusur PKL? Apakah peristiwa bentrokan Mbah Priok 16 April 2010 itu tak diambil sebagai pelajaran?
Melalui Permendagri No. 26 Tahun 2010, pemerintah justru mengarahkan moncong pistol kepada warganya. Akankah warga, seperti PKL, pengasong, pengamen, pengemis, PSK, tunawisma dan orang-orang tergusur adalah musuh yang perlu dihadapi dengan senjata api oleh Satpol PP?
Hadi menatap bekas lapaknya dulu. Kalau begitu, sesaat dia berpikir, apakah perlu menyiapkan senjata juga untuk merebut kembali lapaknya yang hilang dan melawan Satpol PP yang kemaren membentaknya? ***

1 comment:

eleano said...

bagus tulisannya.
boleh tau,seperti apa inovasi yang diperlukan dalam manangani PKL oleh Satpol pp