Tuesday, December 18, 2007

TV Komunitas: Masa Depan Jurnalisme Warga

Sesudah maraknya radio komunitas, kini era TV komunitas. Paling tidak itu yang disuarakan oleh para penggiat TV Komunitas di ”Seminar dan Workshop: Masa Depan TV Komunitas” di Auditorium UII Yogyakarta tanggal 15-16 Desember 2007 lalu. Seminar dan Workshop yang diorganisir oleh CRI Yogya, Prodi Jurnalistik dan Komunitasi UII, Grabag TV dll ini diikuti 60 peserta dari pelbagai wilayah Indonesia.
” Untuk TV Komunitas, bukan saatnya lagi kita berwacana, tapi bergeraklah,” tutur Bapak Hartanto, dosen di IKJ, yang juga penggagas dan penggiat Grabang TV, sebuah Stasiun TV Komunitas di Desa Grabag, Yogyakarta.
Desa Grabag, mungkin salah satu pelopor TV Komunitas. Desa yang blankspot dari sinyal stasiun TV nasional ini, menyambut antusias kehadiran TV Komunitas di desa mereka. Selain untuk acara-acara pertanian, sosial dan pendidikan, kadang juga menyiarkan acara hajatan salah satu penduduknya. Interaksi sosial semacam inilah mengapa TV Komunitas dibutuhkan ditengah gempuran TV Komersial yang sering mengedepankan kepentingan pemodal.
” Kita sudah tiba pada mazhab jurnalisme tanggung jawab sosial,” tegas Imam Prakoso. ” Sudah saatnya media komunitas menjadi kiblat jurnalisme ke depan di Indonesia.”
Berbeda dengan dengan radio komunitas yang sudah diatur oleh UU No 32 tahun 2002 dan PP No. 51 tahun 2005, regulasi TV Komunitas masih belum jelas. Misalnyanya soal kanal, apakah di VHF saja atau bisa di jalur seksi UHF. Inilah salah satu tujuan seminar atau workshop ini, tutur Budhi Hermanto, dari Pokja TV Komunitas, yang juga ketua panitia penyelenggara. Melalui advokasi regulasi, yang dikomando Pokja TV Komunitas, diharapkan regulasi kanal TV Komunitas bisa segera terbit, dan tentunya diharapkan memberikan keleluasaan bagi penggiat TV Komunitas.
Di hari kedua, bertempat di Balai Desa Catur Tunggal, Sleman, para peserta diperkenalkan segala hal teknis proses penyiaran dan produksi program siaran, yang dibimbing oleh pengajar-pengajar langsung dari Institute Kesenian Jakarta (IKJ) seperti Pak Hartanto dan Tommy W. Taslim. Masa depan jurnalisme TV warga telah dimulai!

Tuesday, December 11, 2007

JURNALISME: SEJARAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh : Erlinus Thahar




Kilas Sejarah
Ketika gagasan jurnalisme kemanusiaan Islam diwacanakan, yang tergambar dalam bayangan saya pertamakali adalah kerja-kerja yang terkait dunia jurnaslistik, seperti pencarian berita, penulisan berita, dan penyiaran. Dengan Islam dan kemanusian, sebagai prespektifnya. Namun kenyataannya, tidak hanya itu.
Gagasan Jurnalisme Kemanusiaan Islam, sebenarnya tidak begitu saja datangnya. Semua berangkat dari pergulatan kami yang selama ini concern dalam wacana-wacana Islam Klasik dan Pesantren, pendampingan kaum marginal, kemanusiaan dan gender mainstream.
Dari pergulatan tersebut, mesti ada konsep jurnalisme untuk menyampaikan semua gagasan tersebut yang bisa menterjemahkan ke publik yang lebih terbuka. Jurnalisme Islam Kemanusiaan diharapkan bisa membawa perubahan di masyarakat, dengan tidak menimbulkan polemik yang tidak perlu. Jurnalisme Islam yang tidak dalam arti formal saja, tetapi juga subtansial.
Jurnalisme itu sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang. Kata jurnalistik beberapa ahli berpendapat berasal dari kata Acta Diurna pada abad 60 SM, yaitu sebuah media tulis yang terbit di zaman Romawi. Melalui media tersebut berita-berita dan pengumuman ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut Forum Romanum. Saat itu orang bisa mengutip apa saja yang di beritakan dalam lembaran tersebut. Pendapat lain juga mengatakan, asal kata jurnalistik adalah “Journal” atau “Du jour” yang berarti hari, di mana segala berita atau warta sehari itu termuat dalam lembaran tercetak. Karena kemajuan teknologi dan ditemukannya pencetakan surat kabar dengan sistem silinder (rotasi), maka istilah “pers” muncul, sehingga orang lalu mensenadakan istilah “jurnalistik” dengan “pers”.
Lebih tegas lagi dijelaskan oleh buku Jurnalistik; Teori dan Praktik (Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat: 2005) disebutkan, bahwa Jurnalisme atau Journalism berasal dari kata journal, yang berarti catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari. Bisa juga berarti surat kabar. Kata journal sendiri berasal dari perkataan Latin “diurnalis”, artinya harian atau setiap hari. Istilah jurnalis digunakan untuk orang yang melakukan kerja-kerja jurnalistik, atau pencarian berita, pelaporan dan pemberitaan di media-media. Jurnalisme secara sederhana berarti pewartaan, yaitu proses mencari dan memperoleh data atau berita dari sumber, lalu mengemas dan menyampaikannya ke publik melalui media yang ada; baik cetak, maupun elektronik.
Pada awalnya, publikasi informasi itu hanya diciptakan untuk kalangan terbatas, terutama para pejabat pemerintah. Baru pada sekitar abad 17-18 surat kabar dan majalah untuk publik diterbitkan untuk pertama kalinya di wilayah Eropa Barat, Inggris, dan Amerika Serikat. Surat kabar untuk umum ini sering mendapat tentangan dan sensor dari penguasa setempat. Iklim yang lebih baik untuk penerbitan surat kabar generasi pertama ini, baru muncul pada pertengahan abad 18, ketika beberapa negara, semisal Swedia dan AS, mengesahkam undang-undang kebebasan pers.
Bagaimana dengan di Indonesia? Tokoh pers nasional, Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya "PWI di Arena Masa” (1998) menyebutkan bahwa Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Dalam perkembangan berikiutnya, pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Salah satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal kemerdekaan adalah fasilitas percetakan milik perusahaan koran Jepang seperti Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang) ("PR", 23 Agustus 2004). Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), dan The Voice of Free Indonesia.
Dunia jurnalistik kemudian mengalami perkembangan pesat seiring dengan perkembangan teknologi, seperti teknologi media seperti weblog, radio web, tvweb, yang menggunakan jaringan internet. Apapaun medianya, yang tak berubah adalah jurnalisme secara subtansial sebagai penyampaian gagasan dan informasi. Yang tak kalah penting juga perspektif bagaimana menyampaikannya.
Sementara itu sejumlah ahli sejarah juga beranggapan, cikal bakal jurnalistik yang pertama kali didunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Hal terkait dengan kisah Nabi Nuh, pada saat setelah bencana banjir besar diturunkan Tuhan, karena terdesak keperluan dan keinginan para penumpang kapalnya itu Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk meneliti keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Setelah beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan kian kemari mencari makanan, tetapi sia-sia belaka. Burung dara itu hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun (olijf) yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun di patuknya dan dibawanya pulang ke kapal. Atas datangnya kembali burung itu dengan membawa ranting zaitun. Nabi Nuh mengambil kesimpulan bahwa air bah sudah mulai surut, namun seluruh permukaan bumi masih tertutup air, sehingga burung dara itu pun tidak menemukan tempat untuk istirahat demikianlah kabar dan berita itu disampaikan kepada seluruh anggota penumpangnya.
Atas dasar fakta tersebut, para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai seorang pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama kali di dunia. Bahkan sejalan dengan teknik-teknik dan caranya mencari serta menyiarkan kabar (warta berita di zaman sekarang dengan lembaga kantor beritannya). Mereka menunjukan bahwa sesungguhnya kantor berita yang pertama di dunia adalah Kapal Nabi Nuh. Baik hikayat Nabi Nuh maupun munculnya Acta Diurna walau belum merupakan suatu penyiaran atau penerbitan berkala, akan tetapi jelas terlihat merupakan gejala awal perkembangan jurnalistik. Dari kejadian tersebut dapat kita ketahui adanya suatu kegiatan yang mempunyai prinsip-prinsip komunikasi massa pada umumnya dan kejuruan jurnalistik pada khususnya. Karena itu tidak heran kalau Nabi Nuh dikenal sebagai wartawan pertama di dunia. Demikian pula Acta Diurna sebagai cikal bakal lahirnya surat kabar harian pertama kali di dunia.
Dalam kaitannya dengan Jurnalisme Islam, Faqihihudin Abdul Kodir dalam tulisanya Islam dan Jurnalisme Kemanusiaan di website Fahmina mengatakan bahwa Islam adalah nilai dan tatanan yang diwahyukan Allah Swt untuk kemanusiaan. Maka Islam lebih merupakan jiwa bagi pers atau jurnalisme, bukan salah satu mazhab atau teori bagi jurnalisme. Karena itu tidak perlu ada istilah Jurnalisme Islam, sebagai mazhab. Kalaupun ada, mungkin lebih tepat diartikan sebagai Jurnalisme tentang Islam atau tentang orang-orang Islam. Atau Jurnalisme Islam diartikan sebagai jurnalisme yang berintegrasi dengan nilai keislaman. Yaitu ketauhidan dan kemanusiaan. Ketauhidan yang memuliakan kemanusiaan, dan kemanusiaan yang tetap mengagungkan ketuhanan.
Jurnalisme dan Islam, sama-sama berpijak pada sisi kemanusiaan ketika membela kepentingan masyarakat.

Jurnalistik pemberdayaan masyarakat
Pada awalnya jurnalistik digunakan sebagai alat propaganda penguasa, dan menjadikan masyarakat sebagai sebagai objek jurnalistik. Namun perkembangan selanjutnya, jurnalistik mengalami berbagai metamorfosis dalam fungsinya. Sebagai alat untuk melakukan perlawanan bagi sebuah kekuasaan yang otoritarian, suara filosifi religius, propaganda politik, media bisnis, hingga alat pemberdayaan masyarakat.
Apapun fungsinya sebagai media jurnalistik, dalam penerbitan dan penayangannya, umumnya dipengaruhi oleh sang pemodal atau penggagas, siapa yang membiayai. Disinilah sering muncul politik pemodal. Apalagi jika pemodalnya adalah penguasa tertentu, pengusaha tertentu, pemilik ideologi tertentu, jelas akan menggunakan media jurnalistik yang dimodalinya sedikit banyaknya membawa pesan-pesan yang subyektif. Maka tanggung jawab moral media jurnalistik sebagai pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat menjadi nomor sekian.
Media jelas punya peran dalam pencitraan, defenisi, mengarahkan presepsi sebuah obyek jurnalistik dalam masyarakat yang terlanjur sudah dominan. Bukan hanya pada individu, tetapi juga pada kelompok masyarakat secara kolektif. Secara tak sengaja media terbiasa memberikan penilaian secara formatif, yang kemudian menjadi acuan sebagian masyarakat.
Di sisi lain, keberadaan media jurnalistik kadung menjadi institusi fundamental menilai keberadaan sebuah masyarakat. Sebagai salah satu indikator kualitas masyarakat. Ketika masyarakat ingin menyuarakan aspirasinya melalui demontrasi misalnya, tak lengkap rasanya jika tidak melibatkan media jurnalistik baik berupa lembaran siaran pers dan pers conference dengan wartawan sebagai artikulasinya. Terkadang juga, tingkat kecerdasan masyarakat kadang juga diukur dengan berapa tiras sebuah harian pagi. Jika penjualan naik, maka minat baca juga naik, tingkat kecerdasan juga meningkat.
Saat ini cara baru dalam mengakses informasi menjadi tidak terbendung lagi, seperti internet, TV dan radio, walau masih terbagi dalam entitas tertentu. Teknologi juga memberikan kemungkinan gaya hidup baru. Di sinilah pentingnya peran jurnalistik dalam membingkai semua kemungkinan tersebut.
Bill Kovach dan Tom Rosentiel yang didukung sejumlah ahli media lainnya yang tergabung dalam Committe Of Concerned Journalist, diantara inti prinsip jurnalisme adalah jurnalisme kebenaran (journalist truth) yaitu menyampaikan kebenaran praktis, bukan mengejar kebenaran absolut atau filosofis dalam sebuah laporan yang adil dan terpercaya. Prinsip lainnya adalah memelihara kesetiaan kepada warga masyarakat dan kepentingan publik yang lebih luas di atas yang lainnya.
Peran jurnalistik menjadi lebih penting dalam membangkitkan kekuatan masyarakat, karena dahulu, saat sistem kesejahteraan (welfare state) banyak diterapkan di seluruh dunia (antara tahun 1930-1960-an), hampir semua kebutuhan masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah, hingga peran pemerintah menjadi sangat dominan. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Pada posisi ini biasanya peran warga menjadi sangat lemah.
Peran pemerintah yang sangat berkuasa ternyata terbukti rentan korupsi dan juga tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Lebih parah lagi, pemerintah yang korup tersebut berkolusi dengan swasta untuk menumpuk harta dan kekuasaan. Sehingga kita dihadapkan pada pilihan apakah kita menyerahkan semuanya pada pemerintah, pasar atau keduanya? Apapun pilihannya masyarakat harus memiliki kekuatan yang cukup untuk memastikan pilihan itu benar bisa mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Jika masyarakat posisinya lemah, tentu tidak mungkin bisa duduk satu meja dengan pihak pemerintah maupun swasta, yang lebih pintar, kaya dan terorganisir, untuk memastikan apakah mereka bekerja untuk melayani masyarakat.
Masyarakat yang kuat hanya bisa dicapai melaui proses pemberdayaan masyatrakat, yang menurut UNDP (United Nations Development Programme) dalah perluasan kemampuan dan pilihat masyarakat, kemampuan menerapkan pilihan berdasarkan kondisi yang bebas dari kelaparan, kedinginan, dan kekurangan, kesempatan untuk berpartisipasi dalam, atau memberi persetujuan atas proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidupnya.
Media jurnalistik sebagai jembatan arus informasi jelas memiliki tanggung jawab yang besar dalam menciptakan masyarakat yang kuat jika menilik dari prinsip-prinsip dasar jurnalistik, untuk memastikan sehingga keberdayaan masyarakat muncul, paling tidak seperti yang dikatakan oleh Phil Bartle, seorang sosiolog yang tinggal dan melakukan pemberdayaan di Afrika diantaranya adalah punya nilai yang dianut bersama (common values), kemampuan mengakses, mengolah, dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan kepentingan komunitas (information) dan akses pada jaringan komunikasi baik elektonik maupun cetak (communication).
Agar seimbang, sudah saatnyalah masyarakat tidak hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga produsen informasi. Ketika era digital merambah dunia, persoalannya bukan minimnya masyarakat miskin menerima informasi dari luar, tetapi masyarakat miskin makin terpinggirkan posisinya, tak punya kesempatan memberikan sumbangsih pemikiranya dalam penciptaan pengetahuan kolektif. Maka munculah pertanyaan seperti yang diungkapkan oleh Afrizal dkk ( Media Rakyat: Mengorganisasi Diri Melalui Informasi, CRI, Jan uari 1997) yaitu mengapa masyarakat perlu menjadi produsen informasi? Apa yang ditawarkan oleh masyarakat selaku produsen informasi? Bukankah pemerintah, swasta, atau para ahli di universitas lebih mengerti tentang berbagai aspek pembangunan, dan bukannya orang miskin?

Jurnalisme Radio
Pengertian “Radio” menurut ensiklopedi Indonesia yaitu penyampaian informasi dengan pemanfaatan gelombang elektromagnetik bebas yang memiliki frequensi kurang dari 300 GHz (panjang gelombang lebih besar dari 1 mm). Sedangkan istilah “radio siaran” atau “siaran radio” berasal dari kata “radio broadcast” (Inggris) atau “radio omroep” (Belanda) artinya yaitu penyampaian informasi kepada khalayak berupa suara yang berjalan satu arah dengan memanfaatkan gelombang radio sebagai media. Reginald Fessenden, ilmuwan asal Pittsburg, Amerika Serikat, diakui sebagai yang pertama melakukan sejenis siaran radio, walau terbatas. Dan untuk khalayaknya dilakukan seorang teknisi Eestinghouse pada tahun 1920 di Pittsburg. Barulah pada tahun 1930 sistem radio FM ditemukan.
Saat ini tidak dapat dipungkiri siaran radio identik dengan siaran musik, meskipun radio juga sudah banyak yang merambah ranah informasi (jurnalistik) dengan meningkatnya siaran kata. Dengan keterbatasan hanya sebagai media audio (dengar), kreativitas dalam mempertahankan dan menguatkan eksistensi siaran radio tidak ada jalan lain, kecuali mengangkat musik dan jurnalistik sebadai dasar inovasi dan daya tarik radio.
Ketika memasuki ranah jurnalistik, faktor “hanya suara” ini yang mesti disiasati. Misalnya menyampaikan data-data berupa angka. Bagi media cetak menyampaikan data tidak menjadi masalah. Berbeda jika disampaikan melalui siaran radio, karena faktor “sekilas dengar”. Belum lagi faktor waktu mendengar, tidak semua orang punya waktu yang sama untuk mendengar sebuah siaran radio. Untuk informasi penting, sebaiknya di ulang siaranya beberapa kali, dengan waktu berlainan, agar pendengarnya lebih luas. Soal kendala geografis, dalam perkembangan selanjutnya, media internet bisa dikembangkan sebagai radio-web, siaran radio menjadi tanpa batas, asal terkoneksi dengan jaringan internet.
Jurnalisme radio, seperti halnya televisi, tidak hanya siaran berita, juga acara talkshow. Beberapa pakar dengan kapasitasnya masing-masing sepeti Gede Prama (pakar manajemen personal), Rario Tagu (pakar konsultan bisinis), Hermawan Kertajaya (pakar pemasaran hingga Imam Prasojo dan Deni JA, masih sering mengisi acara talkshow versi radio. Ini menunjukan bahwa radio masih dipandang oleh para pemilik opini sebagai saluran yang mempunyai pendengar efektif (Redi Panuju, Nalar Jurnalistik: Dasarnya Dasar Jurnalistik, Bayumedia Publising, 2005).


Radio Komunitas, Jurnalisme Warga
Dengan semangat bahwa menjadikan masyarakat sebagai produsen informasi, melalui rembug warga dan Fahmina di enam komunitas desa yang telah dipilih berdasarkan need assesment, disepakati media radio sebagai sebagai media komunitas. Pertimbangannya bahwa media radio adalah media yang cukup murah biayanya, lebih merakyat, teknologinya lebih mudah dan dan bersifat audio sehingga mudah diikuti oleh berbagai kalangan, tidak hanya entitas tertentu saja.
Di sisi lain, aktivitas demokrasi melalui media komunitas, melibatkan banyak warga dalam kegiatan jurnalisme seperti memperoleh, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, serta menyebarluaskan bahan dan informasi. Walaupun sama kaidah jurnalistiknya dengan media cetak dan elektronik, namun radio komunitas berbeda dalam karakter jurnalistiknya dengan media komersial. Perbedaanya terletak pada komponen kepemilikan, tujuan, fungsi, dan sasaran khalayak. Jurnalisme radio komunitas lebih mengarah pada jurnalisme publik, atau jurnalisme warga. Dengan jurnalisme warga, masyarakat diikutsertakan dan dididik untuk ikut dalam permasalahan mereka
Simak saja pengalaman Dudih Syiarudin, Koordinator Radio Komunitas Rasima di Bogor, seandainya dia sejumlah rekannya urung membuat stasiun radio komunitas karena keterbatasan dana dan ketidak jelasan regulasinya, mungkin hingga saat ini Warga Desa Situ Udik Bogor tempat dia tinggal tidak akan mengetahui berapa harga bawang, cabe, sayur, sembako dan hasil pertanian lainnya yang tiap malam disiarkan Radio Rasima. Acara ini kerap jadi patokan para ibu-ibu untuk menentukan jumlah belanja yang akan dibawa ke pasar dan para petani mengetahui berapa juga hasil pertaniannya dijual. Warga pun dapat mengetahui topik-topik utama dua media cetak lokal melalui radio tersebut disamping acara-acara yang membahas soal pertanian dan keseharian mereka. Radio menembus ke semua segmen masyarakat tanpa membatasi tingkat sosialnya.
Radio Rasima tersebut didirikan dengan modal nekad, patungan dengan Dudih dan teman-temannya, tak lebih dari 5 juta rupiah yang dikeluarkan untuk membangun pesawat radio 150 watt dan pemancar setinggi 16 meter. Saking asyiknya melihat antusiasisme warga, Dudih dan kawan-kawan sebagai pengelola Radio Rasima sampai lupa mengurus perizinan.
Mungkin cerita-cerita seperti ini juga muncul di beberapa radio komunitas lainnya dengan berbagai versinya, tapi setidaknya menjadi sekedar ilustrasi dimana dengan kondisi ekonomi, geografis, keterbatasan sumber daya, teknologi dan keefektifannya, mendirikan radio komunitas bisa menjadi salah satu pilihan untuk mewujudkan semangat warga sebagai produsen informasi.
Salah satu strategi untuk pengorganisasian masyarakat adalah dengan menggunakan media. Radio hanya salah satu media untuk pengorganisasian masyarakat, yang membantu masyarakat melakukan tindakan nyata. Yang lebih penting lagi adalah pengorganisasianya. Dengan pengorganisasian masyarakat, persoalan yang muncul bisa diselesaikan sendiri oleh masyarakat itu sendiri.
Sebagai media warga, radio komunitas, ternyata awalnya dan bahkan hingga kini masih banyak pihak yang merasa khawatir, tentunya dengan berbagai a;asan. Seperti yang diungkap oleh Akhmad Nasir dari CRI Jogya di seminar “Radio Komunitas: Untuk Demokrasi dan Persatuan Bangsa”, Jogjakarta, September 2001 lalu, bahwa alasan yang sering dikemukakan seperti munculnya berbagai peluang munculnya simbol-simbol budaya yang menumbuhkan sikap primordial yang bisa mengancam disintegrasi bangsa dan adanya saling rebutan frequensi.
Untuk memperkuat daya tawarnya, radio komunitas, bisa berjejaring dengan radio komunitas lainya, dari berbagai daerah, dan itu malah menjadi potensi persatuan bangsa. Tentang frequensi memang perlu diatur. Sebagai sumberdaya terbatas disamping diatur negara, oleh lembaga atau forum yang mewakili komunitas atau warga, saat ini lembaga itu KPI di tingkat nasional, maupun KPID di tingkat provinsi. Meski masih tarik ulur dengan pemerintah, keterlibatan unsur masyarakat melalui KPI dan KPID, adalah sebagai bentuk lain keterlibatan warga dalam pengaturan lalu-lintas informasi, yang sebelumnya menjadi kekuasaan mutlak pemerintah. Di tingkat komunitas desa, lembaga atau forum wargalah yang akan mengatur visi dan misi radio komunitas, karena komunitas harus menjadi bagian sistem informasi yang bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan dirinya. Radio komunitas bisa menjadi alat untuk menghidupkan demokrasi di tingkat komunitas dengan jurnalisme warganya.***