Thursday, February 14, 2008

Antara Satpol PP dan PKL

Oleh Erlinus Thahar


Di layar kaca, mungkin sudah tidak asing lagi jika menyaksikan bentrokan antara Sapol PP dengan masyarakat, dalam berbagai kasus penggusuran dan penertiban. Penggusuran Pasar, penggusuran lahan kosong, kejar-kejaran dengan PSK dan yang paling sering penggusuran PKL. Kita nyaris tiap hari disuguhkan stereotip sosok Satpol PP, yang berwajah dingin, tanpa ekpresi, dan tak ambil peduli ketika melaksanakan tugasnya. Sosok aparat yang kasar, arogan, penindas rakyat kecil dan tidak berprikemanusiaan. Apa selalu demikian?
Sebagai contoh kasus, misalnya, belum lepas ingatan kita sebenarnya dengan Kasus Pasar Mambo beberapa waktu lalu yang hingga kini belum jelas titik penyelesaianya. Ketidakjelasan sikap Pemkot dan cucitangannya legislatif soal keberadaan Pasar Mambo, menambah runyam persoalan yang sesungguhnya: bagaimana sesungguhnya pola penanganan PKL (baca: Pedagang Kaki Lima) di Kota Cirebon. Sejatinya Pasar Mambo, yang terbentang di Jalan Sukalila Utara tersebut, direkomendasikan untuk menampung PKL di sepanjang Pasar Pagi, Siliwangi, Karanggetas, Kalibaru dan Sukalila. Namun rencana tinggal rencana, misi sesungguhnya ini menguap begitu saja, yang muncul adalah perdebatan soal permanen atau tidak permanen, soal dampak lingkungan dan soal keterlibatan pihak ketiga dan lain-lain. Soal yang mestinya sudah selesai ketika proyek ini berjalan.
Disisi lain lain, Satpol PP sebagai aparat penegak kebijakan Pemkot, dalam kasus tersebut tak berdaya untuk mengambil tindakan. Satpol PP ternyata hanya garang ketika berhadapan dengan masyarakat yang dianggap melanggar, tetapi tak berdaya jika dihadapkan dengan kebijakan pemerintah yang dianggap keliru oleh publik. Padahal sorotan publik pada kinerja Satpol PP sebagai aparat penegak hukum daerah begitu tajam, dalam kasus Pasar mambo tersebut diatas Satpol PP dituding tak mampu membongkar Pasar meskipun ada pelanggaran Perda tentang jalur hijau, pendirian bangunan permanen di pinggir sungai. Alasanya adalah bahwa ini soal kebijakan antara eksekutif dan legislatif yang belum selesai. Maka, rasanya perlu dipertanyakan apakah benar satpol PP itu penegak perda dan kebijakan atau alat kekuasaan elit daerah?
Seperti kita ketahui, ruang lingkup kerja Satpol PP seperti yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam PP Nomor 32/2004 disebutkan bahwa Satpol PP bertugas membantu kepala daerah dalam penegakan peraturan daerah (perda) dan penyelenggaraan ketententraman dan ketertiban masyarakat. Dari aspek hukum terlihat bahwa Satpol PP juga mempunyai tugas pembinaan ke masyarakat atau tugas eksternal.
Karena menyangkut soal ketertiban dan keamananan, tumpang tindih tugas Satpol PP dengan Polri tak jarang juga menimbulkan masalah. "Satpol PP itu memiliki tugas dan kewenangan yang terbatas dari tugas polisi umum. Selama ini saya memandang tugas Satpol PP dalam setiap gelaran operasi yang berbenturan dengan masyarakat masih bisa menggunakan jasa polisi dalam hal pengamanan," ucap Kapoltabes Samarinda Kombes Pol Drs Maruli Wagner Damanik, menyoroti tugas Satpol PP yang kadang berbenturan dengan aparatnya. Karena tugas Satpol PP hanya mengamankan sebuah kebijakan, baik berupa kebijakan, keputusan maupun tingkat Perda, yang kadang menimbulkan penolakan dalam masyarakat, baik berupa perlawanan fisik maupun demontrasi. Terkadang karena kurangnya koordinasi, melibatkan aparat kepolisian jika kondisinya sudah parah. Ini hanya beberapa contoh kasus saja tentang peran dan posisi Satpol PP dalam realitas masyarakat umumnya.
Dalam konteks Kota Cirebon, penanganan Satpol PP terhadap keberadaan PKL di Kota Cirebon relatif sangat tajam dan keras beberapa waktu belakangan ini. Baik dari kalangan legislatif, pejabat, mantan pejabat, pemerhati sosial dan masyakat melalui media massa.
Pergantian Kepala Satpol PP Kota Cirebon dari Sabar Simamora kepada Dedi Nurhayadi beberapa waktu lalu, seperti membuat harapan baru, baik dengan yang gerah dengan keberadaan PKL maupun yang memahami potensi dan manfaat PKL. Empat tahun sudah Pak Sabar, demikian panggilannya, memimpin Satpol PP Kota Cirebon pasca demontrasi besar-besaran PKL di Balaikota 19 Desember 2004, telah mengubah relasi Satpol PP dengan PKL tidak stereotip pada umumnya, dari relasi penuh bentrokan menjadi relasi persuasif. Hasilnya bisa bermacam-macam penafsiran.
Dengan anggaran untuk operasional tak kurang 200 juta pertahun untuk penangangan PKL saja (Bappeda Kota Cirebon, 2006), tentu ada saja yang geram dan kemudian menuduh bahwa Satpol PP takut kepada PKL, ada juga yang meneriakan bahwa Satpol PP terima upeti dari PKL. Ada yang juga yang memuji, biasanya kalangan akademisi baik dari kalangan sosial maupun ekonomi yang memahami potensi perekonomian kaum marjinal ini. Semua sah-sah saja. Oleh Pak Sabar, sebagai pejabat terdahulu, dinamika itu berhasil beliau lalui dengan baik. Bagi penggantinya, Pak Dedi Nurhayadi, ini merupakan tantangan, karena kondisinya bisa saja berbeda. Masyarakat, baik yang pro maupun kontra tentu menunggu perubahan dan perbaikan apa yang bisa muncul oleh beliau ke depan.
Karena kompleksnya persoalan, langkah-langkah penangangan PKL tentu tidak pernah bisa berhenti, dalam satu masa saja. Luas Kota Cirebon yang cuma 3.735,8 hektar atau 37 km2, letaknya yang strategis di jalur padat Pantura, jelas mempunyai daya pikat tersendiri untuk kaum urban mengadu nasib di Kota Cirebon. Jumlah PKL Kota Cirebon yang tak kurang dari 3000 orang (Blakasuta, 2006) dengan tingkat pertumbuhan hingga 10 % jelas jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan problem sosial yang cukup besar di kemudian hari.
Kebijakan sebelum ini, antara Satpol PP dan PKL, seperti kesepakatan soal berbagi ruang di trotoar, larangan berdagang di tempat-tempat tertentu semisal jembatan, tikungan, badan jalan, membersihkan lapak setelah usai berjualan, sebenarnya masih merupakan kebijakan temporal dan teknis, ternyata hanya menyelesaikan penangan PKL secara sesaat.
Rasanya naif juga jika soal penanganan PKL dibebankan hanya kepada Satpol PP, yang relatif pendekatannya adalah pendekatan keamanan dan ketertiban. Dalam pemahaman Satpol PP, sesuai gugus tugasnya, sepersuasif apapun, PKL tetap pelanggar Perda No 9 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Padahal persoalan PKL berdimensi luas. Ada soal ekonomi dan sosial. Ekonomi karena profesi PKL cukup menjanjikan sebagai sumber pendapatan dan sosial misalnya karena tingginya angka pengangguran dan kesempatan kerja, yang mendorong makin tingginya angka urbanisasi. Yang sering terlupakan adalah peran SKPD lainnya, misalnya: dinas Informasi menangani sejauh mana aturan dan kesepakatan yang ditetapkan dipublikasikan, bagian hukum yang biasanya melekat pada Sekretariat Daerah, disamping perannya dalam aspek penyuluhan kesadaran hukum tetapi juga meneliti ulang apakah aturan yang berlaku tersebut harus direvisi sesuai konteks sosial masyarakat yang ada, dinas perekonomian sejauh mana pembinaan terhadap para pedagang dilakukan, dinas perhubungan juga sangat perlu terlibat untuk mengatur lalu lintas, dimana PKL dianggap sebagai salah satu penyebabnya, padahal kesadaran masyarakat berlalu lintas juga penting, dinas tata kota untuk merancang sebuah kota yang memberikan ruang untuk usaha sejenis PKL meski dalam bentuk nonformal dan Bappeda untuk soal mengatur perizinan pusat-pusat keramaian yang tentunya akan secara otomatis mengundang adanya PKL.
Karena, pada dasarnya, penanganan PKL juga perlu lintas sektoral, tidak beda dengan objek-objek perda lainnya yang juga harus ditegakkan, seperti: Kependudukan, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Usaha Perdagangan, Izin Air Bawah Tanah, Izin Reklame, dll. Perlu kajian dari SKPD yang lain. Perlu juga diingat minimalnya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum, tidak hanya tergantung dari aparat penegak hukum yang hebat, tetapi penjelasan substansi hukum tersebut kepada masyarakat dengan pendekatan yang kompleks. Pola penanganan PKL Kota Cirebon, memang belum ada kebijakan khusus dan substansial yang berani, strategis, utuh, dan dengan berbagai pendekatan melalui kajian ilmiah. Indikatornya jelas, posisi PKL dan tempat usahanya belum menjadi kebijakan pembangunan tata ruang kota misalnya. Jika kebijakan selama ini dianggap salah, sebenarnya yang salah bukan Satpol PP dan PKL. Tetapi karena belum bertemunya semua pihak dalam satu presepsi dalam memandang keberadaan PKL, baik yang pro maupun kontra. Setiap ada kebijakan yang muncul, baik yang sifatnya pro maupun kontra, selalu menimbulkan kontroversi. Disinilah peran penting Pemkot untuk bisa memfasilitasinya. Padahal beberapa seperti Kota Solo dan Kebumen bisa melakukan itu.
Sebenarnya ini hanya soal keberanian, soal keberpihakan dan political will saja. Seperti kaum grassroot lainnya, demikian juga PKL, mereka hanya ditengok ketika pemilu atau pilkada saja. Suara mereka besar, bisa ngambang kemana-mana tergantung arus mana yang kuat, hanya jadi komoditas politik, rebutan berbagai pihak yang ingin berkuasa. Ketika berkuasa, mereka ditindas, digusur, dengan alasan ketertiban dan keamanan. Salah satu alat kekuasaan itu di daerah adalah Satpol PP.
Maka tidak heran, jika di tayangan televisi, Satpol PP dan PKL, ibarat film Tom dan Jerry. Tom adalah Satpol PP dan Jerry adalah PKL. Kejar mengejar, bentrok dan saling mengintai. Bagi sebagian orang, tentu itu bukan tontonan menghibur di layar kaca.***