Ditulis Oleh Erlinus Thahar
Sejak terpisahnya Polri dari struktur TNI, wacana perpolisian masyarakat (Polmas) di berbagai struktur kepolisian dan masyarakat banyak dibicarakan di berbagai forum. Secara konsep, Polmas atau COP (Community Oriented Policing) merupakan kegiatan perpolisian terhadap komunitas yang telah diuji kebenarannya secara ilmiah, dan diterapkan kepada komunitas-komunitas dalam masyarakat di berbagai negara seperti USA, Inggris, Kanada, Jepang dan Singapura, serta negara-negara lainnya.
Pemahaman konsep perpolisian masyarakat (Community Policing) menurut Friedmann telah menghasilkan langkah penting dalam perbaikan strategi kepolisian yang berkaitan dengan bimbingan masyarakat. Apabila pelaksanaannya terus dikembangkan dengan baik dan konsisten dapat memperluas pemahaman tentang keterkaitan antara polisi dan masyarakat yang diamankan. Konsep Community Policing (CP) banyak dirumuskan oleh beberapa ahli seperti Trojanowicz (1998), Bayley (1988), Meliala (1999) dan Rahardjo (2001) yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerja sama antara polisi dengan masyarakat setempat dimana ia bertugas untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri.
Konsep Polmas yang diadopsi oleh Polri sekarang ini, bervariasi, ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing dari Amerika Serikat. Konsep tersebut tidak bisa secara bulat-bulat diterapkan di Indonesia, karena budaya masyarakat kita juga berbeda. Untuk itu perlu adanya penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran dari konsep Polmas tersebut yang disesuaikan dengan kebutuhan karakteristik masing-masing komuniti di masyarakat kita.
Memang selama ini kita telah mengenal program kamtibmas semacam siskamling swakarsa. Begitu juga dengan terbentuknya Babinkamtibmas, yang meniru model Babinsanya TNI, namun sepertinya tidak cocok lagi di era sekarang. Karena tujuannya adalah hanya membuat masyarakat yang “patuh” pada aturan-aturan kamtibmnas, bukan masyarakat yang “sadar” akan pentingnya kamtibmas.
Meski demikian, pengertian Polmas sampai saat ini belum tercapai suatu kesepakatan istilah, para pakar, instansi pemerintah maupun Polri sendiri masih menafsirkan pengertian konsep Polmas sendiri-sendiri sehingga sangat membingungkan bagi anggota-anggota kita di lapangan. Ada yang mengartikan sebagai pemolisian masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing COP). Namun setelah dikeluarkan Surat keputusan Kapolri No. 737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam penyelenggaraan Tugas Polri, maka sebutannya menjadi perpolisian masyarakat (Polmas).
Dengan berbekal Skep tersebut, Bagian Bina Mitra, ujung tumbak “kemitraan dengan masyarakat” Polri di tingkat Polres, merancang dan mendisainan kegiatan Polmas dengan merangkul berbagai lapisan masyarakat, secara kewilayahan maupun sektoral. Terbentuknya sejumlah FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat) merupakan wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat dalam ruang yang mengedapankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan. Tidak melulu dalam soal Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) tetapi dalam isu-isu sosial lainya. FKPM dalam proses berikutnya, tidak mesti melembaga bernama FKPM, tetapi bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada, semisal Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, Warga Siap dan lain-lainnya.
Dalam hal inilah pentingnya program Polmas atau dulu dikenal juga dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil, merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan sesuai yang diamanatkan dalam Tap MPR No.VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No VII/MPR/2000 Tentang Kedudukan TNI dan Polri.
Yang mana, berdasarkan dua TAP MPR tersebut Polri telah dinyatakan terpisah dari TNI. Diperkuat dengan keluarnya Keppres No 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Polri yang menyatakan Polri berkedudukan langsung di bawah presiden. Diperkuat juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Polmas Perlu Didukung
Berbekal berbagai landasan formal tersebut diatas sudah semestinya reformasi kepolisian ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Reformasi kepolisian merupakan lanjutan reformasi 1988 yang merupakan tonggak awal perubahan dan pembaruan institusi negara dan peluang civil society untuk terlibat dalam roda perjalanan bangsa dan negara.
Polmas sebagai sebuah gagasan, berangkat dari ketidakpuasan masyarakat atas citra dan kinerja institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian dan juga keinginan internal kepolisian itu sendiri untuk merubah kultur, yang semula military policing (kultur militer) menjadi civilian and professional policing ( kultur sipil). Polmas merupakan stimulan perubahan secara gradual dan sistematis dari sistem yang tertutup menjadi terbuka. Dengan kultur sipil seperti itu diharapkan kepolisian Indonesia bisa membangun dan memperbaiki komunikasi dan kerjasama antara polisi dan masyarakat dalam memperbaiki transparansi dan akuntabilitas kepolisian Indonesia.
Dukungan terhadap Polmas perlu karena relevansinya dengan upaya mempromosikan nilai-nilai demokrasi khususnya berkaitan dengan partisipasi masyarakat, juga membangun serta mengembangkan kemitraan antara Polisi dan masyarakat. Polmas tidak hanya terkait dengan isu-isu keamanan atau kriminalitas belaka, tetapi isu-isu sosial, politik dan kebutuhan lainnya. Karena ruh Polmas itu sendiri menempatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai klien dan polisi sebagai pemberi jasa layanan yang efesien dan bertanggung jawab.
Dari sisi lain, Polmas memberikan ruang bagi pemberdayaan masyarakat (empowerment) terkait dengan upaya membangun kapasistas dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi kriminalitas, pemberian layanan sosial, keamanan dan kenyamanan.
Polmas dan Trafiking
Karena didisain sebagai kebutuhan masyarakat, Polmas juga harus tanggap dengan isu-isu sosial aktual yang kini tengah hangat dibicarakan, baik dalam agenda lokal maupun internasional. Di beberapa tempat, isu yang muncul tak semata soal kamtibmas dalam pengertian selama ini, tetapi mengangkat isu-isu humanis lainya seperti pendidikan, politik hingga trafiking.
Di Surabaya, melalui Pusham Unair, Polmas mengedepankan juga soal anti trafiking di tempat-tempat hiburan di Surabaya. FKPM setempat memprakarsai audiensi dengan sejumlah pengusaha hiburan, hingga muncul kesepakatan agar pengusaha hiburan tidak memperkerjakan perempuan di bawah umur.
Di Bali, Manikaya Kauci, Polmas mengangkat isu KDRT. Banyak kasus-kasus KDRT yang terungkap, yang semula hanya dianggap persoalan keluarga, dan tak perlu dilaporkan ke aparat hukum.
Di Yogyakarta, Pusham UII, ketika pasca gempa mengarahkan program Polmasnya untuk pemulihan pasca bencana gempa. Polisi dan masyarakat, yang telah terjalin kerjasama, bahu-membahu mengembalikan Yogya pasca gempa dari puing-puing bencana.
Untuk kasus trafiking, di beberapa tempat dengan adanya Polmas, partisipasi masyarakat dalam pengungkapan kasus trafiking meningkat. Di Aceh misalnya, Kapolres Persiapan Bener Meriah Aceh Mayor Polisi Isfar Mochtarudin, mengungkapkan terbongkanyarnya sejumlah warga Bener Meriah menjadi korban trafiking di Malaysia, berkat laporan warga yang pernah mengikuti program pelatihan Polmas.
Disisi personal polisi itu sendiri, terungkap perubahan paradigma polisi dalam melalui program Polmas. Seperti yang diungkapkan oleh anggota Polwan Kasmawati 42, Kepala Unit Intelejen Polda Metro Jakarta di Jakarta Utara, bersama 24 petugas kepolisian lainya di Jakarta Utara, setelah berpartisipasi dalam program pelatihan yang difasilitasi IOM (International Organization for Migration), melalui program Polmas, kini memahami bahwa sebuah pendekatan yang mendorong masyaraka untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam membantu polisi mengindetifikasi menetapkan prioritas dan mengungkapkan kejahatan.
Kasnawati telah memiliki pengalaman di bidang Polmas sebelum menjalani pelatihan sewaktu ditugaskan di sebuah Polsek, dan dirinya sangat yakin bahwa pendekatan ini akan membangun rasa percaya antara masyarakat setempat dan polisi, yang saat ini sangat rendah, khususnya di antara para wanita.
Kasus-kasus trafiking yang terungkap, dari beberapa data-data yang dimunculkan, sebenarnya sebuah deskripsi fenomena gunung es. Realitanya, angka-angka itu lebih besar. Karena masih banyak lagi kasus-kasus yang tak dilaporkan, terlaporkan dan mengendap begitu saja. Ditenggarai, salah satu caranya adalah meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus trafiking tersebut kepada aparat kepolisian.
Namun, kadung citra polisi sebelumnya suram dan tingkat kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum sangat rendah, otomatis mengakibatkan sedikit sekali masyarakat yang mau melaporkan.
Di Yogyakarta, kerjasama antara masyarakat (komunitas) dan Polisi setempat dalam deteksi dan pencegahan kejahatan telah berkontribusi mengurangi angka kriminalitas di Jalan Maliboro hingga 30 persen. Dalam konteks ini, program Polmas di Yogyakarta benar-benar mengedepankan partisipasi masyarakat dan menempatkan polisi hanya sebagai fasilitator.
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka, dalam beberapa tahun terakhir, begitu rentan terjadi praktek-praktek trafiking. Hanya sebagian kecil saja yang terungkap, dan bahkan lebih kecil lagi yang kasusnya diseret hingga ke meja hijau, hingga pelakunya dihukum semestinya.
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan, lemahnya perhatian pemerintah setempat dan kurang tanggapnya aparat kepolisian di lapangan menjadi penyebab maraknya kasus trafiking di wilayah tersebut.
Maka seyogyanya, melalui program Polmas yang diselaraskan dengan gerakan anti trafiking, bisa menjadi titik bangkit sinergitas masyarakat di semua unsur dengan Polisi, dalam merespon kasus-kasus trafiking yang mengancam kita, khususnya perempuan dan anak-anak di sekitar kita. Sinergitas yang terus-menerus, karena trafiking adalah kejahatan atas peradaban manusia.***
Wednesday, April 23, 2008
Wednesday, April 2, 2008
Jaksa dalam Kasus KDRT dan Trafiking Harus Perempuan
Oleh Erlinus Thahar & Nur Aflahatun
Senin, 31 Maret 2008
Banyaknya kasus trafiking yang mulai terungkap lalu berhasil dibawa ke meja hijau dan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2007 telah mendorong pemerintah untuk memberlakukan aturan baru ketika dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, KDRT dan trafiking di pengadilan, dimana jaksanya harus perempuan.
Demikian salah satu point penting yang diungkap dalam pertemuan unsur-unsur masyarakat, LSM, Pengadilan, Kejaksaan, Polres, Disnakertrans, Dinkes, GOW dan RSUD yang diprakarsai oleh bagian Pemberdayaan Perempuan Setda Kabupaten Cirebon, Jumat 27 Maret lalu. Dengan jaksa perempuan diharapkan sensivitasnya bisa memberikan tuntutan yang setimpal kepada pelaku kejahatan yang melibatkan perempuan dan anak.
Dalam pertemuan yang digagas juga untuk membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk penanganan kasus trafiking dan akan dileburnya Bagian PP Setda Kabupaten Cirebon menjadi badan sendiri semacam dinas. Hal itu barangkali merupakan salah satu respon formal atas berbagai keluhan masyarakat soal penanganan kasus trafiking di wilayah Kabupaten Cirebon. FWBMI (Forum Warga Buruh Migrant Indonesia) mengungkapkan ada 43 kasus trafiking sejak tahun 2006 di wilayah Kabupaten selama yang diadukan, namun dikeluhkan bahwa respon Pemkab agak kurang.
Sementara itu pihak Polres telah mengubah bagian RPK (Ruang Pelayanan Khusus) menjadi PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak), disamping itu juga Kapolri telah mengeluarkan Perka No. 10 tahun 2007 yang menginstruksikan agar polisi wajib cepat menangani kasus trafiking.
Soal buruh migrant sendiri ternyata masih banyak pe-er yang harus dikerjakan oleh Pemkab Cirebon, aparat hukum dan para aktifis buruh migrant, dimana saat ini ada 5 korban trafiking yang berasal dari Cirebon di perbatasan Irak. Sebagian ada yang dipaksa bekerja dibawah tekanan majikan di Kurdi tanpa bayaran dan sebagian ada di salah satu agen di Irak. Berikut nama-namanya: Farida binti Dajito (Dsn Karang Moncol desa Bojong Kulon),Farida binti Bajuri (Dsn Tegal Gubug blok BNI), Nurjannah binti Ambara, Khomsinah, Sunenti binti Tubi (Desa Sindingklik Rt.28/02 Kelurahan Buyut – Kab. Cirebon).
Nampaknya, respon formal saja tidak cukup. Kita butuh respon yang lebih besar berupa baik berupa kerjasama dan kerja keras semua pihak untuk menangani kasus-kasus tersebut. Dan yang lebih penting lagi, upaya pencegahannya agar kasus trafiking tidak terus bermunculan.[]
Senin, 31 Maret 2008
Banyaknya kasus trafiking yang mulai terungkap lalu berhasil dibawa ke meja hijau dan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2007 telah mendorong pemerintah untuk memberlakukan aturan baru ketika dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, KDRT dan trafiking di pengadilan, dimana jaksanya harus perempuan.
Demikian salah satu point penting yang diungkap dalam pertemuan unsur-unsur masyarakat, LSM, Pengadilan, Kejaksaan, Polres, Disnakertrans, Dinkes, GOW dan RSUD yang diprakarsai oleh bagian Pemberdayaan Perempuan Setda Kabupaten Cirebon, Jumat 27 Maret lalu. Dengan jaksa perempuan diharapkan sensivitasnya bisa memberikan tuntutan yang setimpal kepada pelaku kejahatan yang melibatkan perempuan dan anak.
Dalam pertemuan yang digagas juga untuk membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk penanganan kasus trafiking dan akan dileburnya Bagian PP Setda Kabupaten Cirebon menjadi badan sendiri semacam dinas. Hal itu barangkali merupakan salah satu respon formal atas berbagai keluhan masyarakat soal penanganan kasus trafiking di wilayah Kabupaten Cirebon. FWBMI (Forum Warga Buruh Migrant Indonesia) mengungkapkan ada 43 kasus trafiking sejak tahun 2006 di wilayah Kabupaten selama yang diadukan, namun dikeluhkan bahwa respon Pemkab agak kurang.
Sementara itu pihak Polres telah mengubah bagian RPK (Ruang Pelayanan Khusus) menjadi PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak), disamping itu juga Kapolri telah mengeluarkan Perka No. 10 tahun 2007 yang menginstruksikan agar polisi wajib cepat menangani kasus trafiking.
Soal buruh migrant sendiri ternyata masih banyak pe-er yang harus dikerjakan oleh Pemkab Cirebon, aparat hukum dan para aktifis buruh migrant, dimana saat ini ada 5 korban trafiking yang berasal dari Cirebon di perbatasan Irak. Sebagian ada yang dipaksa bekerja dibawah tekanan majikan di Kurdi tanpa bayaran dan sebagian ada di salah satu agen di Irak. Berikut nama-namanya: Farida binti Dajito (Dsn Karang Moncol desa Bojong Kulon),Farida binti Bajuri (Dsn Tegal Gubug blok BNI), Nurjannah binti Ambara, Khomsinah, Sunenti binti Tubi (Desa Sindingklik Rt.28/02 Kelurahan Buyut – Kab. Cirebon).
Nampaknya, respon formal saja tidak cukup. Kita butuh respon yang lebih besar berupa baik berupa kerjasama dan kerja keras semua pihak untuk menangani kasus-kasus tersebut. Dan yang lebih penting lagi, upaya pencegahannya agar kasus trafiking tidak terus bermunculan.[]
Subscribe to:
Posts (Atom)