Ditulis Oleh Erlinus Thahar
Ada 11 stasiun televisi di Indonesia, dan puluhan TV lokal di berbagai wilayah di Indonesia. Banyaknya stasiun televisi itu ternyata menyisakan sejumlah persoalan, yang tak kunjung mencerdaskan masyarakat. Orientasi media diduga tetap dipegang oleh penguasa media, yang berkolaborasi dengan aktor-aktor politik dan ekonomi pasar. Karena itu, sekarang ini mulai diupayakan adanya media lain sebagai media alternatif, televisi komunitas salah satunya. Sebagai media partisipatif yang mensyaratkan keterlibatan komunitas di dalamnya.
Demikian yang mengemuka di Temu Nasional Televisi Komunitas Indonesia yang berlangsung di Desa Grabag, Magelang pada 17-20 Mei lalu. Puluhan penggiat televisi komunitas baik dari kalangan TV Komunitas, Akademisi, dan kalangan LSM yang peduli dengan TV Komunitas hadir di pertemuan ini. Kegiatan ini di gagas oleh Pokja TV Komunitas, Grabag TV, Combine Resouche Indonesia (CRI), FFTV-IKJ dan lain-lainya. Adapun rangkaian kegiatannya dimulai dengan diskusi nasional tentang kurikulum studi Televisi di SMK, kongres pendirian Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia (ASTVKI) yang pertama, hingga diskusi tentang media literacy (melek media).
Selain berbagai rekomendasi, seperti pentingnya advokasi kebijakan terhadap TV Komunitas, kegiatan ini juga telah melahirkan organisasi baru yang bernama Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia. Deklarasi Asosiasi ini dihadiri tokoh-tokoh terkemuka, seperti novelis dan budayawan Ahmad Tohari, mantan Ketua Pansus UU Penyiaran DPR Paulus Widiatmoto, Ketua KPI Pusat Bimo Nugroho, dan puluhan aktifis media komunitas lainnya. Terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus adalah Mas Langgeng, dari TV Komunitas Bahurekso, Kendal, Jawa Tengah.
Mendorong Gerakan Media Literacy
Mukhotib MD, dari PKBI, salah seorang pemakalah dalam diskusi tentang TV Komunitas, menyoroti pentingnya media komunitas, seperti TV Komunitas ini untuk mendorong gerakan melek media (media literacy). Yaitu suatu kemampuan masyarakat untuk mengakses, mengevaluasi pesan yang diinformasikan, ditayangkan dan dan dijual kepada kita. Media litarcy juga berarti kemampuan untuk berpikir kritis, tentang apa yang melatari sebuah produksi media. Melalui gerakan ini diharapkan adanya penguatan civil society melalui kelompok-kelompok sosial yang ada. Sehingga diharapakan dapat memebangun struktur demokrasi yang lebih adil.
Hal senada diungkap oleh Yossi Suparyo menyatakan , upaya pengembangan televisi komunitas sendiri sejatinya adalah upaya untuk mewujudkan masyarakat melek media. Melek media sendiri seperti cermin, yiatu dari komunitas, oleh komunitas dan untuk komunitas.
Lebih tegas lagi, Ahmad Tohari, dalam orasi budaya yang menjadi penutup kegiatan tersebut menyebutkan bahwa perlunya perlawanan yang kuat terhadap hegemoni televisi komersial, melalui pendidikan yang luas di segala lapisan masyarakat. Sehingga sikap kritis masyarakat terbagun. Dan TV Komunitas adalah salah satu bentuk perlawanan itu.***
Tuesday, May 27, 2008
Tuesday, May 6, 2008
Jangan Cuma Jadi TKI, Mari Berusaha Mandiri
Oleh Erlinus Thahar
Tak terasa, hari-hari belakangan, ketika kita makan atau minum, entah di warung Jamblang, di Warteg, maupun di rumah makan Padang, kita sepertinya merogoh saku lebih dalam dari biasanya. Harga naik itu memang tidak merubah rasa apa yang kita makan, tetapi rasa pahit mulai terasa ketika menghitung-hitung, tiba-tiba dompet lebih cepat terasa tipis. Rasa pahit itu lebih mencekik juga ketika memberikan uang belanja untuk istri, wajah istri yang biasanya sumringah kalau menerima uang belanja, sekarang biasa-biasa saja, kalau tak cukup syarat untuk dibilang cemberut.
Di koran-koran saya membaca, harga telur kini mencapai Rp. 12.000 /kg. Minyak goreng Rp. 13.000/kg. Beras mencai Rp 6000,-/ kg. Minyak tanah susah didapat. Di Palembang, harga minyak tanah akan dijual tanpa subsidi, menjadi Rp 8.900/liter. Elpiji tabung 12 kg, yang semula Rp. 55.000/tabung, akan dijual Rp.65.000-75.000/ kg.
Di TV, muncul berita para mahasiswa berdemo, tuntut turunkan harga! Tapi berita itu sepertinya sepintas. Durasinya hanya lima detik. Di koran-koran, berita demo itu kalah menariknya dengan berita soal suap oleh seorang anggota DPR RI. Di koran satu lagi, berita itu bahkan tidak muncul sama-sekali.
Harga bahan pokok naik ternyata bukan lagi berita. Harga bahan pokok naik mungkin seperti berita pemotongan pita peresmian di era orba dulu. Sudah menjadi seremonial keseharian kita. Ketika ada berita rakyat antri minyak goreng operasi pasar, yang jadi fokus justru orang yang pingsan terinjak-injaknya, tak ada investigasi kenapa minyak goreng naik.
Yang pasti lagi, tidak ada berita seorang ibu rumah tangga yang tengah mengurut dada karena karena ia hanya bisa membawa 2 kg beras dan 8 butir telur dengan uang belanja yang diberikan suaminya. Pulang ke rumah dia bingung, masak pakai apa? Minyak tanah di warung tetangga kosong. Ia tidak punya uang sisa untuk beli minyak goreng. Padahal suaminya sudah pesan siang nanti pulang dari pabrik untuk makan siang dengan dadar goreng. Tanpa terasa air mata meleleh di pipinya.
Budaya Jalan Pintas
Selama ini, kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah, nyantanya sangat berdampak bagi masyarakat, khususnya di lapisan bawah. Lebih-labih bagi kaum perempuan. Apa yang dialami tentu berbeda dengan yang dialami para elit, baik elit birokrasi, poltik maupun bisnis. Jika terjadi himpitan ekonomi, para pengusaha bisa melarikan modalnya ke luar negeri. Para pejabat bisa korupsi. Para ekonom, para tokoh mungkin bisa cari tambahan menjadi narasumber untuk diwawancarai TV. Pokoknya banyak cara bisa ditempuh kaum elit untuk mengatasi berbagai kesulitan yang membelit.
Tapi apa pilihan lain dari para ibu rumah tangga tersebut? Tidak ada. Ketika mereka berusaha menawar harga minyak goreng di sebuah warung, dijawab pedagang yang lama jengkel karena sering meladeni pertanyaan yang sama,” kalau mau murah, beli aja di TV!.” Paling, pulang-pulang ia dongkol, ditumpahkan ke orang rumah. Tidak jarang kemudian ribut.
Rasanya sudah lelah untuk marah-marah dan menyalahkan, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Para perempuan yang sering hanya bisa mengurut dada dan menangis itu akhirnya sebagian memilih untuk pergi, meninggalkan negeri ini “berjudi” mengundi nasib ke luar negeri. “Berjudi”, karena ketika memutuskan jadi TKI semuanya serba belum tentu. Banyak yang berhasil, tetapi pula yang berakhir mengenaskan. Tidak sedikit yang menjadi korban kejahatan perdagangan orang, terpuruk di lumpur hitam pelacuran. Bahkan banyak juga yang pulang tinggal nama.
Beberapa TKI terjerat jaringan peredaran narkoba. Tapi untungnya, masih banyak juga yang bernasib baik. Pulang bawa setumpuk uang, dan kemudian berusaha mengencangkan ikat pinggang. Mengerem uang belanja, atau kemudian berusaha kecil-kecilan.
Sayangnya ketika sebagian lagi memilih jalur informal seperti menjadi PKL, pengasong, pengamen, malah kemudian digusur, diburu karena dianggap pembuat kumuh kota. Inilah yang tak pernah disadari para pemimpin negara ini. Berusaha baik-baik malah dianggap melanggar aturan. Sebagian yang sudah tak bisa sabar lagi, atau karena niatan lain, akhirnya memilih menjadi TKI ke luar negeri, sadar atau tidak sadar antara keberuntungan dan ancaman sama besarnya. Bahkan ada juga yang nekad bisnis narkoba. Walau resikonya besar, tapi yang pasti untungnya besar. Namanya juga jalan pintas.
Mengedarkan narkoba, bagaimanapun adalah perbuatan melanggar hukum. Tetapi saat pilihannya jadi TKI, maka persoalannya apakah selama ini negara sudah ............. memiliki sistem perlindungan hak-hak TKI yang memadai? Karena tanpa itu maka nasib TKI seperti orang berjudi, bisa untung bisa juga buntung. Dan selama ini, kadang TKI harus melakukan kerja keras untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya.
Maksimalkan Potensi Ekonomi Sekitar
Ketika negara tak bisa memberi jalan keluar, tidak semua rakyat akan diam dan mengalami jalan buntu. Tetapi selalu saja ada sebagian rakyat akan melakukan hal-hal kreatif untuk bertahan. Sebagai contoh mudah, Ahmad Tohari misalnya. Selain sebagai penulis produktif, Tohari juga melakukan aksi nyata dengan mengembangkan sebuah BMT (Baitul Mal wa Tanwil, semacam koperasi pesantren) al-Amin. Ini ia mulai sejak 2001, dengan modal awal Rp 25 juta, hasil patungan dengan rekan-rekannya. Kini, dengan uang yang dipinjamkan BMT al-Amin, ratusan orang tergerak usahanya. Orang-orang yang selama ini kesulitan pinjam uang ke bank, sangat terbantu dengan BMT tersebut. Dengan BMT ini, kini Ahmad Tohari mengelola asset Rp. 10 miliar lebih.
Di Cirebon sendiri, pusat-pusat bisnis dan kreasi rakyat bisa dilihat di beberapa tempat. Misalnya, di Panembahan Plered, yang menjadi pusat kreasi batik Trusmi dan usaha snack atau ciki. Di Tegal Gubug, berkembang perdagangan tekstil. Di Tegalwangi masyarakat berkreasi mnegmbangkan usaha perakitaan rotan. Di Cikijing, berkembang usaha konveksi jeans. Dan masih banyak tempat lain yang menghasilkan berbagai kreasi ekonomi rakyat..
Seharusnya pemerintah mengusahakan dengan sungguh-sungguh pengembangan usaha yang melibatkan dan dapat menguntungkan rakyat banyak ini. Dalam konstitusi negara kita disebutkan, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara. Mungkin kalau tidak sampai ke terjaminnya upaya ini, paling tidak pemerintah membuka luas-luas kesempatan usaha bagi masyarakat banyak.
Semangat berusaha juga patut terus dikembangkan. Kita butuh pionir-pionir seperti Ahmad Tohari, pedagang Tegal Gubug, para pengusaha cemilan dan batik Trusmi di Plered, serta para pengusaha rotan di Tegalwangi.. Kita butuh para perintis usaha, yang bisa menggerakkan ekonomi masyarakat. Hingga menciptakan Trusmi, Tegal Gubug baru, dan juga Panembahan baru. Bila semangat berusaha ini tumbuh maka untuk menjadi TKI yang penuh resiko mungkin akan dipikir ualng. Para perempuan mungkin tidak mudah terjebak menjadi korban perdagangan orang.
Islam sendiri sangat menghargai orang-orang yang hidup atas usaha yang dilakukannya sendiri. Dalam sebuah hadits dikatakan: "Tidak ada seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya Nabi
Allah Daud as makan dari hasil usahanya sendiri."[HR. Bukhari]. Dalam al-Qur’an surah al-Najm ayat 39 Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”. Wallahu’alam bi al-sahwab
__________
Tak terasa, hari-hari belakangan, ketika kita makan atau minum, entah di warung Jamblang, di Warteg, maupun di rumah makan Padang, kita sepertinya merogoh saku lebih dalam dari biasanya. Harga naik itu memang tidak merubah rasa apa yang kita makan, tetapi rasa pahit mulai terasa ketika menghitung-hitung, tiba-tiba dompet lebih cepat terasa tipis. Rasa pahit itu lebih mencekik juga ketika memberikan uang belanja untuk istri, wajah istri yang biasanya sumringah kalau menerima uang belanja, sekarang biasa-biasa saja, kalau tak cukup syarat untuk dibilang cemberut.
Di koran-koran saya membaca, harga telur kini mencapai Rp. 12.000 /kg. Minyak goreng Rp. 13.000/kg. Beras mencai Rp 6000,-/ kg. Minyak tanah susah didapat. Di Palembang, harga minyak tanah akan dijual tanpa subsidi, menjadi Rp 8.900/liter. Elpiji tabung 12 kg, yang semula Rp. 55.000/tabung, akan dijual Rp.65.000-75.000/ kg.
Di TV, muncul berita para mahasiswa berdemo, tuntut turunkan harga! Tapi berita itu sepertinya sepintas. Durasinya hanya lima detik. Di koran-koran, berita demo itu kalah menariknya dengan berita soal suap oleh seorang anggota DPR RI. Di koran satu lagi, berita itu bahkan tidak muncul sama-sekali.
Harga bahan pokok naik ternyata bukan lagi berita. Harga bahan pokok naik mungkin seperti berita pemotongan pita peresmian di era orba dulu. Sudah menjadi seremonial keseharian kita. Ketika ada berita rakyat antri minyak goreng operasi pasar, yang jadi fokus justru orang yang pingsan terinjak-injaknya, tak ada investigasi kenapa minyak goreng naik.
Yang pasti lagi, tidak ada berita seorang ibu rumah tangga yang tengah mengurut dada karena karena ia hanya bisa membawa 2 kg beras dan 8 butir telur dengan uang belanja yang diberikan suaminya. Pulang ke rumah dia bingung, masak pakai apa? Minyak tanah di warung tetangga kosong. Ia tidak punya uang sisa untuk beli minyak goreng. Padahal suaminya sudah pesan siang nanti pulang dari pabrik untuk makan siang dengan dadar goreng. Tanpa terasa air mata meleleh di pipinya.
Budaya Jalan Pintas
Selama ini, kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah, nyantanya sangat berdampak bagi masyarakat, khususnya di lapisan bawah. Lebih-labih bagi kaum perempuan. Apa yang dialami tentu berbeda dengan yang dialami para elit, baik elit birokrasi, poltik maupun bisnis. Jika terjadi himpitan ekonomi, para pengusaha bisa melarikan modalnya ke luar negeri. Para pejabat bisa korupsi. Para ekonom, para tokoh mungkin bisa cari tambahan menjadi narasumber untuk diwawancarai TV. Pokoknya banyak cara bisa ditempuh kaum elit untuk mengatasi berbagai kesulitan yang membelit.
Tapi apa pilihan lain dari para ibu rumah tangga tersebut? Tidak ada. Ketika mereka berusaha menawar harga minyak goreng di sebuah warung, dijawab pedagang yang lama jengkel karena sering meladeni pertanyaan yang sama,” kalau mau murah, beli aja di TV!.” Paling, pulang-pulang ia dongkol, ditumpahkan ke orang rumah. Tidak jarang kemudian ribut.
Rasanya sudah lelah untuk marah-marah dan menyalahkan, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Para perempuan yang sering hanya bisa mengurut dada dan menangis itu akhirnya sebagian memilih untuk pergi, meninggalkan negeri ini “berjudi” mengundi nasib ke luar negeri. “Berjudi”, karena ketika memutuskan jadi TKI semuanya serba belum tentu. Banyak yang berhasil, tetapi pula yang berakhir mengenaskan. Tidak sedikit yang menjadi korban kejahatan perdagangan orang, terpuruk di lumpur hitam pelacuran. Bahkan banyak juga yang pulang tinggal nama.
Beberapa TKI terjerat jaringan peredaran narkoba. Tapi untungnya, masih banyak juga yang bernasib baik. Pulang bawa setumpuk uang, dan kemudian berusaha mengencangkan ikat pinggang. Mengerem uang belanja, atau kemudian berusaha kecil-kecilan.
Sayangnya ketika sebagian lagi memilih jalur informal seperti menjadi PKL, pengasong, pengamen, malah kemudian digusur, diburu karena dianggap pembuat kumuh kota. Inilah yang tak pernah disadari para pemimpin negara ini. Berusaha baik-baik malah dianggap melanggar aturan. Sebagian yang sudah tak bisa sabar lagi, atau karena niatan lain, akhirnya memilih menjadi TKI ke luar negeri, sadar atau tidak sadar antara keberuntungan dan ancaman sama besarnya. Bahkan ada juga yang nekad bisnis narkoba. Walau resikonya besar, tapi yang pasti untungnya besar. Namanya juga jalan pintas.
Mengedarkan narkoba, bagaimanapun adalah perbuatan melanggar hukum. Tetapi saat pilihannya jadi TKI, maka persoalannya apakah selama ini negara sudah ............. memiliki sistem perlindungan hak-hak TKI yang memadai? Karena tanpa itu maka nasib TKI seperti orang berjudi, bisa untung bisa juga buntung. Dan selama ini, kadang TKI harus melakukan kerja keras untuk mendapatkan perlindungan akan hak-haknya.
Maksimalkan Potensi Ekonomi Sekitar
Ketika negara tak bisa memberi jalan keluar, tidak semua rakyat akan diam dan mengalami jalan buntu. Tetapi selalu saja ada sebagian rakyat akan melakukan hal-hal kreatif untuk bertahan. Sebagai contoh mudah, Ahmad Tohari misalnya. Selain sebagai penulis produktif, Tohari juga melakukan aksi nyata dengan mengembangkan sebuah BMT (Baitul Mal wa Tanwil, semacam koperasi pesantren) al-Amin. Ini ia mulai sejak 2001, dengan modal awal Rp 25 juta, hasil patungan dengan rekan-rekannya. Kini, dengan uang yang dipinjamkan BMT al-Amin, ratusan orang tergerak usahanya. Orang-orang yang selama ini kesulitan pinjam uang ke bank, sangat terbantu dengan BMT tersebut. Dengan BMT ini, kini Ahmad Tohari mengelola asset Rp. 10 miliar lebih.
Di Cirebon sendiri, pusat-pusat bisnis dan kreasi rakyat bisa dilihat di beberapa tempat. Misalnya, di Panembahan Plered, yang menjadi pusat kreasi batik Trusmi dan usaha snack atau ciki. Di Tegal Gubug, berkembang perdagangan tekstil. Di Tegalwangi masyarakat berkreasi mnegmbangkan usaha perakitaan rotan. Di Cikijing, berkembang usaha konveksi jeans. Dan masih banyak tempat lain yang menghasilkan berbagai kreasi ekonomi rakyat..
Seharusnya pemerintah mengusahakan dengan sungguh-sungguh pengembangan usaha yang melibatkan dan dapat menguntungkan rakyat banyak ini. Dalam konstitusi negara kita disebutkan, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara. Mungkin kalau tidak sampai ke terjaminnya upaya ini, paling tidak pemerintah membuka luas-luas kesempatan usaha bagi masyarakat banyak.
Semangat berusaha juga patut terus dikembangkan. Kita butuh pionir-pionir seperti Ahmad Tohari, pedagang Tegal Gubug, para pengusaha cemilan dan batik Trusmi di Plered, serta para pengusaha rotan di Tegalwangi.. Kita butuh para perintis usaha, yang bisa menggerakkan ekonomi masyarakat. Hingga menciptakan Trusmi, Tegal Gubug baru, dan juga Panembahan baru. Bila semangat berusaha ini tumbuh maka untuk menjadi TKI yang penuh resiko mungkin akan dipikir ualng. Para perempuan mungkin tidak mudah terjebak menjadi korban perdagangan orang.
Islam sendiri sangat menghargai orang-orang yang hidup atas usaha yang dilakukannya sendiri. Dalam sebuah hadits dikatakan: "Tidak ada seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya Nabi
Allah Daud as makan dari hasil usahanya sendiri."[HR. Bukhari]. Dalam al-Qur’an surah al-Najm ayat 39 Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”. Wallahu’alam bi al-sahwab
__________
Wednesday, April 23, 2008
POLMAS, MEWUJUDKAN SINERGITAS POLISI DAN MASYARAKAT
Ditulis Oleh Erlinus Thahar
Sejak terpisahnya Polri dari struktur TNI, wacana perpolisian masyarakat (Polmas) di berbagai struktur kepolisian dan masyarakat banyak dibicarakan di berbagai forum. Secara konsep, Polmas atau COP (Community Oriented Policing) merupakan kegiatan perpolisian terhadap komunitas yang telah diuji kebenarannya secara ilmiah, dan diterapkan kepada komunitas-komunitas dalam masyarakat di berbagai negara seperti USA, Inggris, Kanada, Jepang dan Singapura, serta negara-negara lainnya.
Pemahaman konsep perpolisian masyarakat (Community Policing) menurut Friedmann telah menghasilkan langkah penting dalam perbaikan strategi kepolisian yang berkaitan dengan bimbingan masyarakat. Apabila pelaksanaannya terus dikembangkan dengan baik dan konsisten dapat memperluas pemahaman tentang keterkaitan antara polisi dan masyarakat yang diamankan. Konsep Community Policing (CP) banyak dirumuskan oleh beberapa ahli seperti Trojanowicz (1998), Bayley (1988), Meliala (1999) dan Rahardjo (2001) yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerja sama antara polisi dengan masyarakat setempat dimana ia bertugas untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri.
Konsep Polmas yang diadopsi oleh Polri sekarang ini, bervariasi, ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing dari Amerika Serikat. Konsep tersebut tidak bisa secara bulat-bulat diterapkan di Indonesia, karena budaya masyarakat kita juga berbeda. Untuk itu perlu adanya penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran dari konsep Polmas tersebut yang disesuaikan dengan kebutuhan karakteristik masing-masing komuniti di masyarakat kita.
Memang selama ini kita telah mengenal program kamtibmas semacam siskamling swakarsa. Begitu juga dengan terbentuknya Babinkamtibmas, yang meniru model Babinsanya TNI, namun sepertinya tidak cocok lagi di era sekarang. Karena tujuannya adalah hanya membuat masyarakat yang “patuh” pada aturan-aturan kamtibmnas, bukan masyarakat yang “sadar” akan pentingnya kamtibmas.
Meski demikian, pengertian Polmas sampai saat ini belum tercapai suatu kesepakatan istilah, para pakar, instansi pemerintah maupun Polri sendiri masih menafsirkan pengertian konsep Polmas sendiri-sendiri sehingga sangat membingungkan bagi anggota-anggota kita di lapangan. Ada yang mengartikan sebagai pemolisian masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing COP). Namun setelah dikeluarkan Surat keputusan Kapolri No. 737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam penyelenggaraan Tugas Polri, maka sebutannya menjadi perpolisian masyarakat (Polmas).
Dengan berbekal Skep tersebut, Bagian Bina Mitra, ujung tumbak “kemitraan dengan masyarakat” Polri di tingkat Polres, merancang dan mendisainan kegiatan Polmas dengan merangkul berbagai lapisan masyarakat, secara kewilayahan maupun sektoral. Terbentuknya sejumlah FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat) merupakan wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat dalam ruang yang mengedapankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan. Tidak melulu dalam soal Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) tetapi dalam isu-isu sosial lainya. FKPM dalam proses berikutnya, tidak mesti melembaga bernama FKPM, tetapi bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada, semisal Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, Warga Siap dan lain-lainnya.
Dalam hal inilah pentingnya program Polmas atau dulu dikenal juga dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil, merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan sesuai yang diamanatkan dalam Tap MPR No.VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No VII/MPR/2000 Tentang Kedudukan TNI dan Polri.
Yang mana, berdasarkan dua TAP MPR tersebut Polri telah dinyatakan terpisah dari TNI. Diperkuat dengan keluarnya Keppres No 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Polri yang menyatakan Polri berkedudukan langsung di bawah presiden. Diperkuat juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Polmas Perlu Didukung
Berbekal berbagai landasan formal tersebut diatas sudah semestinya reformasi kepolisian ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Reformasi kepolisian merupakan lanjutan reformasi 1988 yang merupakan tonggak awal perubahan dan pembaruan institusi negara dan peluang civil society untuk terlibat dalam roda perjalanan bangsa dan negara.
Polmas sebagai sebuah gagasan, berangkat dari ketidakpuasan masyarakat atas citra dan kinerja institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian dan juga keinginan internal kepolisian itu sendiri untuk merubah kultur, yang semula military policing (kultur militer) menjadi civilian and professional policing ( kultur sipil). Polmas merupakan stimulan perubahan secara gradual dan sistematis dari sistem yang tertutup menjadi terbuka. Dengan kultur sipil seperti itu diharapkan kepolisian Indonesia bisa membangun dan memperbaiki komunikasi dan kerjasama antara polisi dan masyarakat dalam memperbaiki transparansi dan akuntabilitas kepolisian Indonesia.
Dukungan terhadap Polmas perlu karena relevansinya dengan upaya mempromosikan nilai-nilai demokrasi khususnya berkaitan dengan partisipasi masyarakat, juga membangun serta mengembangkan kemitraan antara Polisi dan masyarakat. Polmas tidak hanya terkait dengan isu-isu keamanan atau kriminalitas belaka, tetapi isu-isu sosial, politik dan kebutuhan lainnya. Karena ruh Polmas itu sendiri menempatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai klien dan polisi sebagai pemberi jasa layanan yang efesien dan bertanggung jawab.
Dari sisi lain, Polmas memberikan ruang bagi pemberdayaan masyarakat (empowerment) terkait dengan upaya membangun kapasistas dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi kriminalitas, pemberian layanan sosial, keamanan dan kenyamanan.
Polmas dan Trafiking
Karena didisain sebagai kebutuhan masyarakat, Polmas juga harus tanggap dengan isu-isu sosial aktual yang kini tengah hangat dibicarakan, baik dalam agenda lokal maupun internasional. Di beberapa tempat, isu yang muncul tak semata soal kamtibmas dalam pengertian selama ini, tetapi mengangkat isu-isu humanis lainya seperti pendidikan, politik hingga trafiking.
Di Surabaya, melalui Pusham Unair, Polmas mengedepankan juga soal anti trafiking di tempat-tempat hiburan di Surabaya. FKPM setempat memprakarsai audiensi dengan sejumlah pengusaha hiburan, hingga muncul kesepakatan agar pengusaha hiburan tidak memperkerjakan perempuan di bawah umur.
Di Bali, Manikaya Kauci, Polmas mengangkat isu KDRT. Banyak kasus-kasus KDRT yang terungkap, yang semula hanya dianggap persoalan keluarga, dan tak perlu dilaporkan ke aparat hukum.
Di Yogyakarta, Pusham UII, ketika pasca gempa mengarahkan program Polmasnya untuk pemulihan pasca bencana gempa. Polisi dan masyarakat, yang telah terjalin kerjasama, bahu-membahu mengembalikan Yogya pasca gempa dari puing-puing bencana.
Untuk kasus trafiking, di beberapa tempat dengan adanya Polmas, partisipasi masyarakat dalam pengungkapan kasus trafiking meningkat. Di Aceh misalnya, Kapolres Persiapan Bener Meriah Aceh Mayor Polisi Isfar Mochtarudin, mengungkapkan terbongkanyarnya sejumlah warga Bener Meriah menjadi korban trafiking di Malaysia, berkat laporan warga yang pernah mengikuti program pelatihan Polmas.
Disisi personal polisi itu sendiri, terungkap perubahan paradigma polisi dalam melalui program Polmas. Seperti yang diungkapkan oleh anggota Polwan Kasmawati 42, Kepala Unit Intelejen Polda Metro Jakarta di Jakarta Utara, bersama 24 petugas kepolisian lainya di Jakarta Utara, setelah berpartisipasi dalam program pelatihan yang difasilitasi IOM (International Organization for Migration), melalui program Polmas, kini memahami bahwa sebuah pendekatan yang mendorong masyaraka untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam membantu polisi mengindetifikasi menetapkan prioritas dan mengungkapkan kejahatan.
Kasnawati telah memiliki pengalaman di bidang Polmas sebelum menjalani pelatihan sewaktu ditugaskan di sebuah Polsek, dan dirinya sangat yakin bahwa pendekatan ini akan membangun rasa percaya antara masyarakat setempat dan polisi, yang saat ini sangat rendah, khususnya di antara para wanita.
Kasus-kasus trafiking yang terungkap, dari beberapa data-data yang dimunculkan, sebenarnya sebuah deskripsi fenomena gunung es. Realitanya, angka-angka itu lebih besar. Karena masih banyak lagi kasus-kasus yang tak dilaporkan, terlaporkan dan mengendap begitu saja. Ditenggarai, salah satu caranya adalah meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus trafiking tersebut kepada aparat kepolisian.
Namun, kadung citra polisi sebelumnya suram dan tingkat kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum sangat rendah, otomatis mengakibatkan sedikit sekali masyarakat yang mau melaporkan.
Di Yogyakarta, kerjasama antara masyarakat (komunitas) dan Polisi setempat dalam deteksi dan pencegahan kejahatan telah berkontribusi mengurangi angka kriminalitas di Jalan Maliboro hingga 30 persen. Dalam konteks ini, program Polmas di Yogyakarta benar-benar mengedepankan partisipasi masyarakat dan menempatkan polisi hanya sebagai fasilitator.
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka, dalam beberapa tahun terakhir, begitu rentan terjadi praktek-praktek trafiking. Hanya sebagian kecil saja yang terungkap, dan bahkan lebih kecil lagi yang kasusnya diseret hingga ke meja hijau, hingga pelakunya dihukum semestinya.
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan, lemahnya perhatian pemerintah setempat dan kurang tanggapnya aparat kepolisian di lapangan menjadi penyebab maraknya kasus trafiking di wilayah tersebut.
Maka seyogyanya, melalui program Polmas yang diselaraskan dengan gerakan anti trafiking, bisa menjadi titik bangkit sinergitas masyarakat di semua unsur dengan Polisi, dalam merespon kasus-kasus trafiking yang mengancam kita, khususnya perempuan dan anak-anak di sekitar kita. Sinergitas yang terus-menerus, karena trafiking adalah kejahatan atas peradaban manusia.***
Sejak terpisahnya Polri dari struktur TNI, wacana perpolisian masyarakat (Polmas) di berbagai struktur kepolisian dan masyarakat banyak dibicarakan di berbagai forum. Secara konsep, Polmas atau COP (Community Oriented Policing) merupakan kegiatan perpolisian terhadap komunitas yang telah diuji kebenarannya secara ilmiah, dan diterapkan kepada komunitas-komunitas dalam masyarakat di berbagai negara seperti USA, Inggris, Kanada, Jepang dan Singapura, serta negara-negara lainnya.
Pemahaman konsep perpolisian masyarakat (Community Policing) menurut Friedmann telah menghasilkan langkah penting dalam perbaikan strategi kepolisian yang berkaitan dengan bimbingan masyarakat. Apabila pelaksanaannya terus dikembangkan dengan baik dan konsisten dapat memperluas pemahaman tentang keterkaitan antara polisi dan masyarakat yang diamankan. Konsep Community Policing (CP) banyak dirumuskan oleh beberapa ahli seperti Trojanowicz (1998), Bayley (1988), Meliala (1999) dan Rahardjo (2001) yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerja sama antara polisi dengan masyarakat setempat dimana ia bertugas untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri.
Konsep Polmas yang diadopsi oleh Polri sekarang ini, bervariasi, ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing dari Amerika Serikat. Konsep tersebut tidak bisa secara bulat-bulat diterapkan di Indonesia, karena budaya masyarakat kita juga berbeda. Untuk itu perlu adanya penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran dari konsep Polmas tersebut yang disesuaikan dengan kebutuhan karakteristik masing-masing komuniti di masyarakat kita.
Memang selama ini kita telah mengenal program kamtibmas semacam siskamling swakarsa. Begitu juga dengan terbentuknya Babinkamtibmas, yang meniru model Babinsanya TNI, namun sepertinya tidak cocok lagi di era sekarang. Karena tujuannya adalah hanya membuat masyarakat yang “patuh” pada aturan-aturan kamtibmnas, bukan masyarakat yang “sadar” akan pentingnya kamtibmas.
Meski demikian, pengertian Polmas sampai saat ini belum tercapai suatu kesepakatan istilah, para pakar, instansi pemerintah maupun Polri sendiri masih menafsirkan pengertian konsep Polmas sendiri-sendiri sehingga sangat membingungkan bagi anggota-anggota kita di lapangan. Ada yang mengartikan sebagai pemolisian masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing COP). Namun setelah dikeluarkan Surat keputusan Kapolri No. 737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam penyelenggaraan Tugas Polri, maka sebutannya menjadi perpolisian masyarakat (Polmas).
Dengan berbekal Skep tersebut, Bagian Bina Mitra, ujung tumbak “kemitraan dengan masyarakat” Polri di tingkat Polres, merancang dan mendisainan kegiatan Polmas dengan merangkul berbagai lapisan masyarakat, secara kewilayahan maupun sektoral. Terbentuknya sejumlah FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat) merupakan wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat dalam ruang yang mengedapankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan. Tidak melulu dalam soal Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) tetapi dalam isu-isu sosial lainya. FKPM dalam proses berikutnya, tidak mesti melembaga bernama FKPM, tetapi bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada, semisal Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, Warga Siap dan lain-lainnya.
Dalam hal inilah pentingnya program Polmas atau dulu dikenal juga dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil, merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan sesuai yang diamanatkan dalam Tap MPR No.VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No VII/MPR/2000 Tentang Kedudukan TNI dan Polri.
Yang mana, berdasarkan dua TAP MPR tersebut Polri telah dinyatakan terpisah dari TNI. Diperkuat dengan keluarnya Keppres No 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Polri yang menyatakan Polri berkedudukan langsung di bawah presiden. Diperkuat juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Polmas Perlu Didukung
Berbekal berbagai landasan formal tersebut diatas sudah semestinya reformasi kepolisian ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Reformasi kepolisian merupakan lanjutan reformasi 1988 yang merupakan tonggak awal perubahan dan pembaruan institusi negara dan peluang civil society untuk terlibat dalam roda perjalanan bangsa dan negara.
Polmas sebagai sebuah gagasan, berangkat dari ketidakpuasan masyarakat atas citra dan kinerja institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian dan juga keinginan internal kepolisian itu sendiri untuk merubah kultur, yang semula military policing (kultur militer) menjadi civilian and professional policing ( kultur sipil). Polmas merupakan stimulan perubahan secara gradual dan sistematis dari sistem yang tertutup menjadi terbuka. Dengan kultur sipil seperti itu diharapkan kepolisian Indonesia bisa membangun dan memperbaiki komunikasi dan kerjasama antara polisi dan masyarakat dalam memperbaiki transparansi dan akuntabilitas kepolisian Indonesia.
Dukungan terhadap Polmas perlu karena relevansinya dengan upaya mempromosikan nilai-nilai demokrasi khususnya berkaitan dengan partisipasi masyarakat, juga membangun serta mengembangkan kemitraan antara Polisi dan masyarakat. Polmas tidak hanya terkait dengan isu-isu keamanan atau kriminalitas belaka, tetapi isu-isu sosial, politik dan kebutuhan lainnya. Karena ruh Polmas itu sendiri menempatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai klien dan polisi sebagai pemberi jasa layanan yang efesien dan bertanggung jawab.
Dari sisi lain, Polmas memberikan ruang bagi pemberdayaan masyarakat (empowerment) terkait dengan upaya membangun kapasistas dan tanggung jawab bersama untuk mengatasi kriminalitas, pemberian layanan sosial, keamanan dan kenyamanan.
Polmas dan Trafiking
Karena didisain sebagai kebutuhan masyarakat, Polmas juga harus tanggap dengan isu-isu sosial aktual yang kini tengah hangat dibicarakan, baik dalam agenda lokal maupun internasional. Di beberapa tempat, isu yang muncul tak semata soal kamtibmas dalam pengertian selama ini, tetapi mengangkat isu-isu humanis lainya seperti pendidikan, politik hingga trafiking.
Di Surabaya, melalui Pusham Unair, Polmas mengedepankan juga soal anti trafiking di tempat-tempat hiburan di Surabaya. FKPM setempat memprakarsai audiensi dengan sejumlah pengusaha hiburan, hingga muncul kesepakatan agar pengusaha hiburan tidak memperkerjakan perempuan di bawah umur.
Di Bali, Manikaya Kauci, Polmas mengangkat isu KDRT. Banyak kasus-kasus KDRT yang terungkap, yang semula hanya dianggap persoalan keluarga, dan tak perlu dilaporkan ke aparat hukum.
Di Yogyakarta, Pusham UII, ketika pasca gempa mengarahkan program Polmasnya untuk pemulihan pasca bencana gempa. Polisi dan masyarakat, yang telah terjalin kerjasama, bahu-membahu mengembalikan Yogya pasca gempa dari puing-puing bencana.
Untuk kasus trafiking, di beberapa tempat dengan adanya Polmas, partisipasi masyarakat dalam pengungkapan kasus trafiking meningkat. Di Aceh misalnya, Kapolres Persiapan Bener Meriah Aceh Mayor Polisi Isfar Mochtarudin, mengungkapkan terbongkanyarnya sejumlah warga Bener Meriah menjadi korban trafiking di Malaysia, berkat laporan warga yang pernah mengikuti program pelatihan Polmas.
Disisi personal polisi itu sendiri, terungkap perubahan paradigma polisi dalam melalui program Polmas. Seperti yang diungkapkan oleh anggota Polwan Kasmawati 42, Kepala Unit Intelejen Polda Metro Jakarta di Jakarta Utara, bersama 24 petugas kepolisian lainya di Jakarta Utara, setelah berpartisipasi dalam program pelatihan yang difasilitasi IOM (International Organization for Migration), melalui program Polmas, kini memahami bahwa sebuah pendekatan yang mendorong masyaraka untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam membantu polisi mengindetifikasi menetapkan prioritas dan mengungkapkan kejahatan.
Kasnawati telah memiliki pengalaman di bidang Polmas sebelum menjalani pelatihan sewaktu ditugaskan di sebuah Polsek, dan dirinya sangat yakin bahwa pendekatan ini akan membangun rasa percaya antara masyarakat setempat dan polisi, yang saat ini sangat rendah, khususnya di antara para wanita.
Kasus-kasus trafiking yang terungkap, dari beberapa data-data yang dimunculkan, sebenarnya sebuah deskripsi fenomena gunung es. Realitanya, angka-angka itu lebih besar. Karena masih banyak lagi kasus-kasus yang tak dilaporkan, terlaporkan dan mengendap begitu saja. Ditenggarai, salah satu caranya adalah meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus trafiking tersebut kepada aparat kepolisian.
Namun, kadung citra polisi sebelumnya suram dan tingkat kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum sangat rendah, otomatis mengakibatkan sedikit sekali masyarakat yang mau melaporkan.
Di Yogyakarta, kerjasama antara masyarakat (komunitas) dan Polisi setempat dalam deteksi dan pencegahan kejahatan telah berkontribusi mengurangi angka kriminalitas di Jalan Maliboro hingga 30 persen. Dalam konteks ini, program Polmas di Yogyakarta benar-benar mengedepankan partisipasi masyarakat dan menempatkan polisi hanya sebagai fasilitator.
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka, dalam beberapa tahun terakhir, begitu rentan terjadi praktek-praktek trafiking. Hanya sebagian kecil saja yang terungkap, dan bahkan lebih kecil lagi yang kasusnya diseret hingga ke meja hijau, hingga pelakunya dihukum semestinya.
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan, lemahnya perhatian pemerintah setempat dan kurang tanggapnya aparat kepolisian di lapangan menjadi penyebab maraknya kasus trafiking di wilayah tersebut.
Maka seyogyanya, melalui program Polmas yang diselaraskan dengan gerakan anti trafiking, bisa menjadi titik bangkit sinergitas masyarakat di semua unsur dengan Polisi, dalam merespon kasus-kasus trafiking yang mengancam kita, khususnya perempuan dan anak-anak di sekitar kita. Sinergitas yang terus-menerus, karena trafiking adalah kejahatan atas peradaban manusia.***
Wednesday, April 2, 2008
Jaksa dalam Kasus KDRT dan Trafiking Harus Perempuan
Oleh Erlinus Thahar & Nur Aflahatun
Senin, 31 Maret 2008
Banyaknya kasus trafiking yang mulai terungkap lalu berhasil dibawa ke meja hijau dan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2007 telah mendorong pemerintah untuk memberlakukan aturan baru ketika dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, KDRT dan trafiking di pengadilan, dimana jaksanya harus perempuan.
Demikian salah satu point penting yang diungkap dalam pertemuan unsur-unsur masyarakat, LSM, Pengadilan, Kejaksaan, Polres, Disnakertrans, Dinkes, GOW dan RSUD yang diprakarsai oleh bagian Pemberdayaan Perempuan Setda Kabupaten Cirebon, Jumat 27 Maret lalu. Dengan jaksa perempuan diharapkan sensivitasnya bisa memberikan tuntutan yang setimpal kepada pelaku kejahatan yang melibatkan perempuan dan anak.
Dalam pertemuan yang digagas juga untuk membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk penanganan kasus trafiking dan akan dileburnya Bagian PP Setda Kabupaten Cirebon menjadi badan sendiri semacam dinas. Hal itu barangkali merupakan salah satu respon formal atas berbagai keluhan masyarakat soal penanganan kasus trafiking di wilayah Kabupaten Cirebon. FWBMI (Forum Warga Buruh Migrant Indonesia) mengungkapkan ada 43 kasus trafiking sejak tahun 2006 di wilayah Kabupaten selama yang diadukan, namun dikeluhkan bahwa respon Pemkab agak kurang.
Sementara itu pihak Polres telah mengubah bagian RPK (Ruang Pelayanan Khusus) menjadi PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak), disamping itu juga Kapolri telah mengeluarkan Perka No. 10 tahun 2007 yang menginstruksikan agar polisi wajib cepat menangani kasus trafiking.
Soal buruh migrant sendiri ternyata masih banyak pe-er yang harus dikerjakan oleh Pemkab Cirebon, aparat hukum dan para aktifis buruh migrant, dimana saat ini ada 5 korban trafiking yang berasal dari Cirebon di perbatasan Irak. Sebagian ada yang dipaksa bekerja dibawah tekanan majikan di Kurdi tanpa bayaran dan sebagian ada di salah satu agen di Irak. Berikut nama-namanya: Farida binti Dajito (Dsn Karang Moncol desa Bojong Kulon),Farida binti Bajuri (Dsn Tegal Gubug blok BNI), Nurjannah binti Ambara, Khomsinah, Sunenti binti Tubi (Desa Sindingklik Rt.28/02 Kelurahan Buyut – Kab. Cirebon).
Nampaknya, respon formal saja tidak cukup. Kita butuh respon yang lebih besar berupa baik berupa kerjasama dan kerja keras semua pihak untuk menangani kasus-kasus tersebut. Dan yang lebih penting lagi, upaya pencegahannya agar kasus trafiking tidak terus bermunculan.[]
Senin, 31 Maret 2008
Banyaknya kasus trafiking yang mulai terungkap lalu berhasil dibawa ke meja hijau dan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2007 telah mendorong pemerintah untuk memberlakukan aturan baru ketika dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, KDRT dan trafiking di pengadilan, dimana jaksanya harus perempuan.
Demikian salah satu point penting yang diungkap dalam pertemuan unsur-unsur masyarakat, LSM, Pengadilan, Kejaksaan, Polres, Disnakertrans, Dinkes, GOW dan RSUD yang diprakarsai oleh bagian Pemberdayaan Perempuan Setda Kabupaten Cirebon, Jumat 27 Maret lalu. Dengan jaksa perempuan diharapkan sensivitasnya bisa memberikan tuntutan yang setimpal kepada pelaku kejahatan yang melibatkan perempuan dan anak.
Dalam pertemuan yang digagas juga untuk membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk penanganan kasus trafiking dan akan dileburnya Bagian PP Setda Kabupaten Cirebon menjadi badan sendiri semacam dinas. Hal itu barangkali merupakan salah satu respon formal atas berbagai keluhan masyarakat soal penanganan kasus trafiking di wilayah Kabupaten Cirebon. FWBMI (Forum Warga Buruh Migrant Indonesia) mengungkapkan ada 43 kasus trafiking sejak tahun 2006 di wilayah Kabupaten selama yang diadukan, namun dikeluhkan bahwa respon Pemkab agak kurang.
Sementara itu pihak Polres telah mengubah bagian RPK (Ruang Pelayanan Khusus) menjadi PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak), disamping itu juga Kapolri telah mengeluarkan Perka No. 10 tahun 2007 yang menginstruksikan agar polisi wajib cepat menangani kasus trafiking.
Soal buruh migrant sendiri ternyata masih banyak pe-er yang harus dikerjakan oleh Pemkab Cirebon, aparat hukum dan para aktifis buruh migrant, dimana saat ini ada 5 korban trafiking yang berasal dari Cirebon di perbatasan Irak. Sebagian ada yang dipaksa bekerja dibawah tekanan majikan di Kurdi tanpa bayaran dan sebagian ada di salah satu agen di Irak. Berikut nama-namanya: Farida binti Dajito (Dsn Karang Moncol desa Bojong Kulon),Farida binti Bajuri (Dsn Tegal Gubug blok BNI), Nurjannah binti Ambara, Khomsinah, Sunenti binti Tubi (Desa Sindingklik Rt.28/02 Kelurahan Buyut – Kab. Cirebon).
Nampaknya, respon formal saja tidak cukup. Kita butuh respon yang lebih besar berupa baik berupa kerjasama dan kerja keras semua pihak untuk menangani kasus-kasus tersebut. Dan yang lebih penting lagi, upaya pencegahannya agar kasus trafiking tidak terus bermunculan.[]
Thursday, February 14, 2008
Antara Satpol PP dan PKL
Oleh Erlinus Thahar
Di layar kaca, mungkin sudah tidak asing lagi jika menyaksikan bentrokan antara Sapol PP dengan masyarakat, dalam berbagai kasus penggusuran dan penertiban. Penggusuran Pasar, penggusuran lahan kosong, kejar-kejaran dengan PSK dan yang paling sering penggusuran PKL. Kita nyaris tiap hari disuguhkan stereotip sosok Satpol PP, yang berwajah dingin, tanpa ekpresi, dan tak ambil peduli ketika melaksanakan tugasnya. Sosok aparat yang kasar, arogan, penindas rakyat kecil dan tidak berprikemanusiaan. Apa selalu demikian?
Sebagai contoh kasus, misalnya, belum lepas ingatan kita sebenarnya dengan Kasus Pasar Mambo beberapa waktu lalu yang hingga kini belum jelas titik penyelesaianya. Ketidakjelasan sikap Pemkot dan cucitangannya legislatif soal keberadaan Pasar Mambo, menambah runyam persoalan yang sesungguhnya: bagaimana sesungguhnya pola penanganan PKL (baca: Pedagang Kaki Lima) di Kota Cirebon. Sejatinya Pasar Mambo, yang terbentang di Jalan Sukalila Utara tersebut, direkomendasikan untuk menampung PKL di sepanjang Pasar Pagi, Siliwangi, Karanggetas, Kalibaru dan Sukalila. Namun rencana tinggal rencana, misi sesungguhnya ini menguap begitu saja, yang muncul adalah perdebatan soal permanen atau tidak permanen, soal dampak lingkungan dan soal keterlibatan pihak ketiga dan lain-lain. Soal yang mestinya sudah selesai ketika proyek ini berjalan.
Disisi lain lain, Satpol PP sebagai aparat penegak kebijakan Pemkot, dalam kasus tersebut tak berdaya untuk mengambil tindakan. Satpol PP ternyata hanya garang ketika berhadapan dengan masyarakat yang dianggap melanggar, tetapi tak berdaya jika dihadapkan dengan kebijakan pemerintah yang dianggap keliru oleh publik. Padahal sorotan publik pada kinerja Satpol PP sebagai aparat penegak hukum daerah begitu tajam, dalam kasus Pasar mambo tersebut diatas Satpol PP dituding tak mampu membongkar Pasar meskipun ada pelanggaran Perda tentang jalur hijau, pendirian bangunan permanen di pinggir sungai. Alasanya adalah bahwa ini soal kebijakan antara eksekutif dan legislatif yang belum selesai. Maka, rasanya perlu dipertanyakan apakah benar satpol PP itu penegak perda dan kebijakan atau alat kekuasaan elit daerah?
Seperti kita ketahui, ruang lingkup kerja Satpol PP seperti yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam PP Nomor 32/2004 disebutkan bahwa Satpol PP bertugas membantu kepala daerah dalam penegakan peraturan daerah (perda) dan penyelenggaraan ketententraman dan ketertiban masyarakat. Dari aspek hukum terlihat bahwa Satpol PP juga mempunyai tugas pembinaan ke masyarakat atau tugas eksternal.
Karena menyangkut soal ketertiban dan keamananan, tumpang tindih tugas Satpol PP dengan Polri tak jarang juga menimbulkan masalah. "Satpol PP itu memiliki tugas dan kewenangan yang terbatas dari tugas polisi umum. Selama ini saya memandang tugas Satpol PP dalam setiap gelaran operasi yang berbenturan dengan masyarakat masih bisa menggunakan jasa polisi dalam hal pengamanan," ucap Kapoltabes Samarinda Kombes Pol Drs Maruli Wagner Damanik, menyoroti tugas Satpol PP yang kadang berbenturan dengan aparatnya. Karena tugas Satpol PP hanya mengamankan sebuah kebijakan, baik berupa kebijakan, keputusan maupun tingkat Perda, yang kadang menimbulkan penolakan dalam masyarakat, baik berupa perlawanan fisik maupun demontrasi. Terkadang karena kurangnya koordinasi, melibatkan aparat kepolisian jika kondisinya sudah parah. Ini hanya beberapa contoh kasus saja tentang peran dan posisi Satpol PP dalam realitas masyarakat umumnya.
Dalam konteks Kota Cirebon, penanganan Satpol PP terhadap keberadaan PKL di Kota Cirebon relatif sangat tajam dan keras beberapa waktu belakangan ini. Baik dari kalangan legislatif, pejabat, mantan pejabat, pemerhati sosial dan masyakat melalui media massa.
Pergantian Kepala Satpol PP Kota Cirebon dari Sabar Simamora kepada Dedi Nurhayadi beberapa waktu lalu, seperti membuat harapan baru, baik dengan yang gerah dengan keberadaan PKL maupun yang memahami potensi dan manfaat PKL. Empat tahun sudah Pak Sabar, demikian panggilannya, memimpin Satpol PP Kota Cirebon pasca demontrasi besar-besaran PKL di Balaikota 19 Desember 2004, telah mengubah relasi Satpol PP dengan PKL tidak stereotip pada umumnya, dari relasi penuh bentrokan menjadi relasi persuasif. Hasilnya bisa bermacam-macam penafsiran.
Dengan anggaran untuk operasional tak kurang 200 juta pertahun untuk penangangan PKL saja (Bappeda Kota Cirebon, 2006), tentu ada saja yang geram dan kemudian menuduh bahwa Satpol PP takut kepada PKL, ada juga yang meneriakan bahwa Satpol PP terima upeti dari PKL. Ada yang juga yang memuji, biasanya kalangan akademisi baik dari kalangan sosial maupun ekonomi yang memahami potensi perekonomian kaum marjinal ini. Semua sah-sah saja. Oleh Pak Sabar, sebagai pejabat terdahulu, dinamika itu berhasil beliau lalui dengan baik. Bagi penggantinya, Pak Dedi Nurhayadi, ini merupakan tantangan, karena kondisinya bisa saja berbeda. Masyarakat, baik yang pro maupun kontra tentu menunggu perubahan dan perbaikan apa yang bisa muncul oleh beliau ke depan.
Karena kompleksnya persoalan, langkah-langkah penangangan PKL tentu tidak pernah bisa berhenti, dalam satu masa saja. Luas Kota Cirebon yang cuma 3.735,8 hektar atau 37 km2, letaknya yang strategis di jalur padat Pantura, jelas mempunyai daya pikat tersendiri untuk kaum urban mengadu nasib di Kota Cirebon. Jumlah PKL Kota Cirebon yang tak kurang dari 3000 orang (Blakasuta, 2006) dengan tingkat pertumbuhan hingga 10 % jelas jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan problem sosial yang cukup besar di kemudian hari.
Kebijakan sebelum ini, antara Satpol PP dan PKL, seperti kesepakatan soal berbagi ruang di trotoar, larangan berdagang di tempat-tempat tertentu semisal jembatan, tikungan, badan jalan, membersihkan lapak setelah usai berjualan, sebenarnya masih merupakan kebijakan temporal dan teknis, ternyata hanya menyelesaikan penangan PKL secara sesaat.
Rasanya naif juga jika soal penanganan PKL dibebankan hanya kepada Satpol PP, yang relatif pendekatannya adalah pendekatan keamanan dan ketertiban. Dalam pemahaman Satpol PP, sesuai gugus tugasnya, sepersuasif apapun, PKL tetap pelanggar Perda No 9 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Padahal persoalan PKL berdimensi luas. Ada soal ekonomi dan sosial. Ekonomi karena profesi PKL cukup menjanjikan sebagai sumber pendapatan dan sosial misalnya karena tingginya angka pengangguran dan kesempatan kerja, yang mendorong makin tingginya angka urbanisasi. Yang sering terlupakan adalah peran SKPD lainnya, misalnya: dinas Informasi menangani sejauh mana aturan dan kesepakatan yang ditetapkan dipublikasikan, bagian hukum yang biasanya melekat pada Sekretariat Daerah, disamping perannya dalam aspek penyuluhan kesadaran hukum tetapi juga meneliti ulang apakah aturan yang berlaku tersebut harus direvisi sesuai konteks sosial masyarakat yang ada, dinas perekonomian sejauh mana pembinaan terhadap para pedagang dilakukan, dinas perhubungan juga sangat perlu terlibat untuk mengatur lalu lintas, dimana PKL dianggap sebagai salah satu penyebabnya, padahal kesadaran masyarakat berlalu lintas juga penting, dinas tata kota untuk merancang sebuah kota yang memberikan ruang untuk usaha sejenis PKL meski dalam bentuk nonformal dan Bappeda untuk soal mengatur perizinan pusat-pusat keramaian yang tentunya akan secara otomatis mengundang adanya PKL.
Karena, pada dasarnya, penanganan PKL juga perlu lintas sektoral, tidak beda dengan objek-objek perda lainnya yang juga harus ditegakkan, seperti: Kependudukan, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Usaha Perdagangan, Izin Air Bawah Tanah, Izin Reklame, dll. Perlu kajian dari SKPD yang lain. Perlu juga diingat minimalnya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum, tidak hanya tergantung dari aparat penegak hukum yang hebat, tetapi penjelasan substansi hukum tersebut kepada masyarakat dengan pendekatan yang kompleks. Pola penanganan PKL Kota Cirebon, memang belum ada kebijakan khusus dan substansial yang berani, strategis, utuh, dan dengan berbagai pendekatan melalui kajian ilmiah. Indikatornya jelas, posisi PKL dan tempat usahanya belum menjadi kebijakan pembangunan tata ruang kota misalnya. Jika kebijakan selama ini dianggap salah, sebenarnya yang salah bukan Satpol PP dan PKL. Tetapi karena belum bertemunya semua pihak dalam satu presepsi dalam memandang keberadaan PKL, baik yang pro maupun kontra. Setiap ada kebijakan yang muncul, baik yang sifatnya pro maupun kontra, selalu menimbulkan kontroversi. Disinilah peran penting Pemkot untuk bisa memfasilitasinya. Padahal beberapa seperti Kota Solo dan Kebumen bisa melakukan itu.
Sebenarnya ini hanya soal keberanian, soal keberpihakan dan political will saja. Seperti kaum grassroot lainnya, demikian juga PKL, mereka hanya ditengok ketika pemilu atau pilkada saja. Suara mereka besar, bisa ngambang kemana-mana tergantung arus mana yang kuat, hanya jadi komoditas politik, rebutan berbagai pihak yang ingin berkuasa. Ketika berkuasa, mereka ditindas, digusur, dengan alasan ketertiban dan keamanan. Salah satu alat kekuasaan itu di daerah adalah Satpol PP.
Maka tidak heran, jika di tayangan televisi, Satpol PP dan PKL, ibarat film Tom dan Jerry. Tom adalah Satpol PP dan Jerry adalah PKL. Kejar mengejar, bentrok dan saling mengintai. Bagi sebagian orang, tentu itu bukan tontonan menghibur di layar kaca.***
Di layar kaca, mungkin sudah tidak asing lagi jika menyaksikan bentrokan antara Sapol PP dengan masyarakat, dalam berbagai kasus penggusuran dan penertiban. Penggusuran Pasar, penggusuran lahan kosong, kejar-kejaran dengan PSK dan yang paling sering penggusuran PKL. Kita nyaris tiap hari disuguhkan stereotip sosok Satpol PP, yang berwajah dingin, tanpa ekpresi, dan tak ambil peduli ketika melaksanakan tugasnya. Sosok aparat yang kasar, arogan, penindas rakyat kecil dan tidak berprikemanusiaan. Apa selalu demikian?
Sebagai contoh kasus, misalnya, belum lepas ingatan kita sebenarnya dengan Kasus Pasar Mambo beberapa waktu lalu yang hingga kini belum jelas titik penyelesaianya. Ketidakjelasan sikap Pemkot dan cucitangannya legislatif soal keberadaan Pasar Mambo, menambah runyam persoalan yang sesungguhnya: bagaimana sesungguhnya pola penanganan PKL (baca: Pedagang Kaki Lima) di Kota Cirebon. Sejatinya Pasar Mambo, yang terbentang di Jalan Sukalila Utara tersebut, direkomendasikan untuk menampung PKL di sepanjang Pasar Pagi, Siliwangi, Karanggetas, Kalibaru dan Sukalila. Namun rencana tinggal rencana, misi sesungguhnya ini menguap begitu saja, yang muncul adalah perdebatan soal permanen atau tidak permanen, soal dampak lingkungan dan soal keterlibatan pihak ketiga dan lain-lain. Soal yang mestinya sudah selesai ketika proyek ini berjalan.
Disisi lain lain, Satpol PP sebagai aparat penegak kebijakan Pemkot, dalam kasus tersebut tak berdaya untuk mengambil tindakan. Satpol PP ternyata hanya garang ketika berhadapan dengan masyarakat yang dianggap melanggar, tetapi tak berdaya jika dihadapkan dengan kebijakan pemerintah yang dianggap keliru oleh publik. Padahal sorotan publik pada kinerja Satpol PP sebagai aparat penegak hukum daerah begitu tajam, dalam kasus Pasar mambo tersebut diatas Satpol PP dituding tak mampu membongkar Pasar meskipun ada pelanggaran Perda tentang jalur hijau, pendirian bangunan permanen di pinggir sungai. Alasanya adalah bahwa ini soal kebijakan antara eksekutif dan legislatif yang belum selesai. Maka, rasanya perlu dipertanyakan apakah benar satpol PP itu penegak perda dan kebijakan atau alat kekuasaan elit daerah?
Seperti kita ketahui, ruang lingkup kerja Satpol PP seperti yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam PP Nomor 32/2004 disebutkan bahwa Satpol PP bertugas membantu kepala daerah dalam penegakan peraturan daerah (perda) dan penyelenggaraan ketententraman dan ketertiban masyarakat. Dari aspek hukum terlihat bahwa Satpol PP juga mempunyai tugas pembinaan ke masyarakat atau tugas eksternal.
Karena menyangkut soal ketertiban dan keamananan, tumpang tindih tugas Satpol PP dengan Polri tak jarang juga menimbulkan masalah. "Satpol PP itu memiliki tugas dan kewenangan yang terbatas dari tugas polisi umum. Selama ini saya memandang tugas Satpol PP dalam setiap gelaran operasi yang berbenturan dengan masyarakat masih bisa menggunakan jasa polisi dalam hal pengamanan," ucap Kapoltabes Samarinda Kombes Pol Drs Maruli Wagner Damanik, menyoroti tugas Satpol PP yang kadang berbenturan dengan aparatnya. Karena tugas Satpol PP hanya mengamankan sebuah kebijakan, baik berupa kebijakan, keputusan maupun tingkat Perda, yang kadang menimbulkan penolakan dalam masyarakat, baik berupa perlawanan fisik maupun demontrasi. Terkadang karena kurangnya koordinasi, melibatkan aparat kepolisian jika kondisinya sudah parah. Ini hanya beberapa contoh kasus saja tentang peran dan posisi Satpol PP dalam realitas masyarakat umumnya.
Dalam konteks Kota Cirebon, penanganan Satpol PP terhadap keberadaan PKL di Kota Cirebon relatif sangat tajam dan keras beberapa waktu belakangan ini. Baik dari kalangan legislatif, pejabat, mantan pejabat, pemerhati sosial dan masyakat melalui media massa.
Pergantian Kepala Satpol PP Kota Cirebon dari Sabar Simamora kepada Dedi Nurhayadi beberapa waktu lalu, seperti membuat harapan baru, baik dengan yang gerah dengan keberadaan PKL maupun yang memahami potensi dan manfaat PKL. Empat tahun sudah Pak Sabar, demikian panggilannya, memimpin Satpol PP Kota Cirebon pasca demontrasi besar-besaran PKL di Balaikota 19 Desember 2004, telah mengubah relasi Satpol PP dengan PKL tidak stereotip pada umumnya, dari relasi penuh bentrokan menjadi relasi persuasif. Hasilnya bisa bermacam-macam penafsiran.
Dengan anggaran untuk operasional tak kurang 200 juta pertahun untuk penangangan PKL saja (Bappeda Kota Cirebon, 2006), tentu ada saja yang geram dan kemudian menuduh bahwa Satpol PP takut kepada PKL, ada juga yang meneriakan bahwa Satpol PP terima upeti dari PKL. Ada yang juga yang memuji, biasanya kalangan akademisi baik dari kalangan sosial maupun ekonomi yang memahami potensi perekonomian kaum marjinal ini. Semua sah-sah saja. Oleh Pak Sabar, sebagai pejabat terdahulu, dinamika itu berhasil beliau lalui dengan baik. Bagi penggantinya, Pak Dedi Nurhayadi, ini merupakan tantangan, karena kondisinya bisa saja berbeda. Masyarakat, baik yang pro maupun kontra tentu menunggu perubahan dan perbaikan apa yang bisa muncul oleh beliau ke depan.
Karena kompleksnya persoalan, langkah-langkah penangangan PKL tentu tidak pernah bisa berhenti, dalam satu masa saja. Luas Kota Cirebon yang cuma 3.735,8 hektar atau 37 km2, letaknya yang strategis di jalur padat Pantura, jelas mempunyai daya pikat tersendiri untuk kaum urban mengadu nasib di Kota Cirebon. Jumlah PKL Kota Cirebon yang tak kurang dari 3000 orang (Blakasuta, 2006) dengan tingkat pertumbuhan hingga 10 % jelas jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan problem sosial yang cukup besar di kemudian hari.
Kebijakan sebelum ini, antara Satpol PP dan PKL, seperti kesepakatan soal berbagi ruang di trotoar, larangan berdagang di tempat-tempat tertentu semisal jembatan, tikungan, badan jalan, membersihkan lapak setelah usai berjualan, sebenarnya masih merupakan kebijakan temporal dan teknis, ternyata hanya menyelesaikan penangan PKL secara sesaat.
Rasanya naif juga jika soal penanganan PKL dibebankan hanya kepada Satpol PP, yang relatif pendekatannya adalah pendekatan keamanan dan ketertiban. Dalam pemahaman Satpol PP, sesuai gugus tugasnya, sepersuasif apapun, PKL tetap pelanggar Perda No 9 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Padahal persoalan PKL berdimensi luas. Ada soal ekonomi dan sosial. Ekonomi karena profesi PKL cukup menjanjikan sebagai sumber pendapatan dan sosial misalnya karena tingginya angka pengangguran dan kesempatan kerja, yang mendorong makin tingginya angka urbanisasi. Yang sering terlupakan adalah peran SKPD lainnya, misalnya: dinas Informasi menangani sejauh mana aturan dan kesepakatan yang ditetapkan dipublikasikan, bagian hukum yang biasanya melekat pada Sekretariat Daerah, disamping perannya dalam aspek penyuluhan kesadaran hukum tetapi juga meneliti ulang apakah aturan yang berlaku tersebut harus direvisi sesuai konteks sosial masyarakat yang ada, dinas perekonomian sejauh mana pembinaan terhadap para pedagang dilakukan, dinas perhubungan juga sangat perlu terlibat untuk mengatur lalu lintas, dimana PKL dianggap sebagai salah satu penyebabnya, padahal kesadaran masyarakat berlalu lintas juga penting, dinas tata kota untuk merancang sebuah kota yang memberikan ruang untuk usaha sejenis PKL meski dalam bentuk nonformal dan Bappeda untuk soal mengatur perizinan pusat-pusat keramaian yang tentunya akan secara otomatis mengundang adanya PKL.
Karena, pada dasarnya, penanganan PKL juga perlu lintas sektoral, tidak beda dengan objek-objek perda lainnya yang juga harus ditegakkan, seperti: Kependudukan, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Usaha Perdagangan, Izin Air Bawah Tanah, Izin Reklame, dll. Perlu kajian dari SKPD yang lain. Perlu juga diingat minimalnya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum, tidak hanya tergantung dari aparat penegak hukum yang hebat, tetapi penjelasan substansi hukum tersebut kepada masyarakat dengan pendekatan yang kompleks. Pola penanganan PKL Kota Cirebon, memang belum ada kebijakan khusus dan substansial yang berani, strategis, utuh, dan dengan berbagai pendekatan melalui kajian ilmiah. Indikatornya jelas, posisi PKL dan tempat usahanya belum menjadi kebijakan pembangunan tata ruang kota misalnya. Jika kebijakan selama ini dianggap salah, sebenarnya yang salah bukan Satpol PP dan PKL. Tetapi karena belum bertemunya semua pihak dalam satu presepsi dalam memandang keberadaan PKL, baik yang pro maupun kontra. Setiap ada kebijakan yang muncul, baik yang sifatnya pro maupun kontra, selalu menimbulkan kontroversi. Disinilah peran penting Pemkot untuk bisa memfasilitasinya. Padahal beberapa seperti Kota Solo dan Kebumen bisa melakukan itu.
Sebenarnya ini hanya soal keberanian, soal keberpihakan dan political will saja. Seperti kaum grassroot lainnya, demikian juga PKL, mereka hanya ditengok ketika pemilu atau pilkada saja. Suara mereka besar, bisa ngambang kemana-mana tergantung arus mana yang kuat, hanya jadi komoditas politik, rebutan berbagai pihak yang ingin berkuasa. Ketika berkuasa, mereka ditindas, digusur, dengan alasan ketertiban dan keamanan. Salah satu alat kekuasaan itu di daerah adalah Satpol PP.
Maka tidak heran, jika di tayangan televisi, Satpol PP dan PKL, ibarat film Tom dan Jerry. Tom adalah Satpol PP dan Jerry adalah PKL. Kejar mengejar, bentrok dan saling mengintai. Bagi sebagian orang, tentu itu bukan tontonan menghibur di layar kaca.***
Thursday, January 31, 2008
Mengapa Televisi Komunitas
oleh Budhi Hermanto
Kemunculan televisi komunitas di Indonesia sebagai salah satu bentuk media komunitas, tidak terlepas dari situasi politik pasca tumbangnya orde baru. Seiring dengan era keterbukaan pasca tumbangnya Soeharto tersebut, dinamika media mengalami perubahan setelah bertahun-tahun terpasung dalam kebijakan politik rezim. Pada masa Orde Baru, media hidup dibawah kondisi politik yang monopolistik dan represif. Eksistensi media sebagai institusi sosial direduksi menjadi instrumen politik rezim. Akibatnya fungsi media sebagai kontrol sosial tidak dijalankan dengan baik.
Menurut Dennis Mc Quail (Mc Quail, 1996:82), situasi kehidupan media yang hidup dibawah tekanan penguasa menunjukan bahwa keberadaan dan kadar kekuasaan media dalam masyarakat ditandai oleh luasnya jangkauan, keterpencilan institusi, isolasi individu, dan kurangnya integrasi masyarakat setempat, sehingga menunjukan bahwa media dapat dikendalikan atau dikelola secara monopolistik untuk dijadikan sebagai alat utama efektif dalam mengorganisasi massa, seperti khalayak, konsumen, pasar dan pemilih. Media massa biasanya merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi serta kepuasan jiwani.
Sebelum iklim keterbukaan media di Indonesia terjadi, media dikontrol sangat ketat oleh pemerintah. Selama bertahun-tahun hanya ada 1 (satu) siaran televisi yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai stasiun milik pemerintah. Baru pada tahun 1990-an muncul media televisi nasional, yakni RCTI dan TPI, yang ternyata kedua media televisi swasta tersebut dimiliki anak dan kerabat rezim yang berkuasa waktu itu. Proses diseminasi informasi berjalan timpang, karena bersifat sentralistik, top-down. Pemirsa televisi dipaksa untuk menerima segala informasi yang disiarkan media televisi. Tidak jarang, hegimoni pemerintah berkuasa terhadap rakyat melalui televisi dilakukan atas nama stabilitas nasional. Semua hal yang dilakukan pemerintah menjadi benar, tidak ada ruang untuk mengkritisi kebijakan negara melalui media televisi.
Setelah reformasi bergulir seiring kebijakan politik yang terjadi, media bertumbuhan bak cendawan di musim hujan. Departemen Penerangan pada era kepemimpinan Habibie telah memberikan ijin prinsip bagi 5 (lima) stasiun TV baru di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No 286/SK/Menpen/ 1999, sehingga akhirnya khalayak pemirsa TV di Indonesia tersuguhi berbagai tayangan dari 10 (sepuluh) stasiun TV swasta komersial dan 1 (satu) stasiun TV publik (TVRI), menyusul dikemudian hari berbagai layanan TV berbayar (kabel).
Pesatnya pertumbuhan televisi di Indonesia dengan hadirnya berbagai tayangan dilayar kaca, ternyata juga menyisakkan sejumlah persoalan. Berbagai analisa dampak siaran televisi menunjukan adanya permasalahan yang cukup rumit. Kekerasan, seksualitas, dan berbagai tayangan ditelevisi yang jauh dari realitas social , dikritik oleh berbagai pihak karena dianggap menjadi penyebab berbagai kemerosotan moral dan kemanusiaan. Perilaku kekerasan, hedonisme, konsumerisme, dan hilangnya insting kemanusiaan tumbuh dan bekembang. Itu merupakan cermin perubahan nilai yang mulai bergeser.. Hal tersebut memang tak terhindari, ketika televisi menjadi media dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. (Mc Quail, 1996:3).
Menilik pada persoalan tersebut, munculah kesadaran untuk mendorong tumbuhnya media lain sebagai alternatif oleh para penggiat lembaga swadaya masyarakat yang berbasis media atau civitas akademika yang concern pada upaya pendidikan melek media (media literasi). Media alternatif ini dikenal dengan sebutan media komunitas, yang salah satunya berupa televisi komunitas.
Dalam sebuah diskursus tentang TV Komunitas yang difasilitasi Kelompok Kerja (Pokja) TV Komunitas Indonesia di Yogyakarta, muncul perdebatan tentang batasan komunitas. Sebagian penggiat tv komunitas mengatakan bahwa, batasan komunitas adalah pendekatan geografis (wilayah) sesuai dengan satu aturan perijinan pendirian lembaga penyiaran komunitas mensyaratkan adanya dukungan 250 warga dewasa yang berdomisili di sekitar stasiun tv komunitas. Sementara bagi penggiat tv komunitas yang berbasis sekolah/kampus memiliki cara pandang yang berbeda. Kedua perbedaan pendapat ini mengkerucut pada satu kesamaan visi, dimana tv komunitas sebagai media alternatif harus berperan dalam memberdayakan komunitasnya. Baik itu berbasis sekolah/kampus atau warga, kesemuanya memiliki tanggungjawab sosial pada komunitasnya. Dimana, warga tidak hanya menjadi “penonton” tayangan televisi, namun juga berperan sebagai subyek atau pelaku tv komunitas itu sendiri.
Maka salah satu ciri dari tv komunitas sebagai lembaga penyiaran komunitas adalah keberadaan lembaga penyiaran ini dari, oleh dan untuk komunitasnya. Istilah lain adalah sebagai media partisipatif yang mensyaratkan keterlibatan komunitas didalamnya. Semakin banyak keterlibatan warga dalam lembaga penyiaran komunitas (diversity of ownership), akan mendorong adanya keberagaman isi siaran (diversity of content) yang semakin baik.
Kebaradaaan tv komunitas jika terkait dengan regulasi pemerintah, saat ini belum menggembirakan. Implementasi UU Penyiaran No 32 tahun 2003 banyak ditentang, khususnya oleh kalangan industri penyiaran (televisi komersial) karena dianggap menghambat ‘bisnis” para konglomerat media di Indonesia karena harus berjaringan, larangan monopoli dan berbagai aturan peralihan yang diangap bisa menghambat laju bisnis mereka.
Sementara bagi kalangan masyarakat sipil pro-demokrasi, UU Penyiaran merupakan keniscayaan agar demokratisasi dalam bidang penyiaran terwujud seiring semangat reformasi. Media penyiaran merupakan alat kontrol masyarakat yang cukup efektif. Media juga mampu menampilkan citra buatan mengenai realitas sosial. (Malik, 1997:15). Dimana sifat media yang bisa mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku massa . Sehingga kepemlikan (ownership) atas media sebaiknya diatur dan ada mekanisme kontrol terhadapnya. Karena dikhawatirkan, kepemilikan yang monopoli oleh kalangan pebisnis terhadap media penyiaran , akan menjadikan media itu sebagai katup pengaman bisnisnya dari kritikan masyarakat. Beberapa fenomena sosial, misalnya kasus lumpur lapindo di Pasuruan Jawa Timur, membuktikan hal itu. Salah satu televisi swasta di Indonesia sangat jarang memberitakan soal Lapindo, dan bahkan tidak pernah menyebut kata “Brantas”, karena dianggap terlalu “dekat” dengan induk perusahaan tempat stasiun televisi tersebut bernaung.
Salah satu semangat dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, adalah desentralisasi penyiaran, dimana memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan watak, adat, budaya, dan tatanan nilai/norma setempat. Undang-undang ini juga memberikan celah bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam bidang penyiaran. Pendek kata, masyarakat diberi ruang untuk tidak lagi menjadi obyek penyiaran, namun bisa berperan dalam mewarnai dunia penyiaran. Salah satu point penting bagi masyarakat adalah ketersediaan aturan mengenai media penyiaran bagi mereka. Menurut UU Penyiaran No 32 Tahun 2003, tersebutlah keberadaaan Lembaga Penyiaran Komunitas (TV dan Radio Komunitas), bersanding dengan 3 (tiga) lembaga lain yakni Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI), Lembaga Penyiaran Swasta (radio & TV Swasta) serta Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Karut-marut regulasi penyiaran di Indonesia semakin panjang, setelah silang sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Demkominfo, tentang pembagian kewenangan dan diberlakukannya beberapa peraturan pemerintah yang dianggap bertolak belakang dengan semangat dalam UU Penyiaran tersebut diatas.
Kemunculan televisi komunitas, sesungguhnya merupakan tonggak sejarah baru dalam dunia penyiaran di Indonesia . Media komunitas hadir sebagai wujud pendidikan literasi media, setelah pada masa sebelumnya (Orde Baru dan pasca Reformasi) masyarakat terpinggirkan dalam penggunaan ranah publik (frekuensi). Jika pada masa orde baru, masyarakat hanya mampu menjadi penonton dan obyek sasaran penanaman ideologi politik otoritarinisme, yang menjauhkan masyarakat dari nilai keberagaman dan demokratisasi, disusul kemudian menjadi obyek sasaran bisnis yang mendorong masyarakat berperilaku konsumtif oleh media-media penyiaran swasta setelah reformasi, saatnya masyarakat mengambil peran dalam media penyiaran sebagai subyek yang memilah, memilih, dan mengontrol siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat.
TV komunitas diharapkan menjawab ketimpangan yang terjadi sekarang. Dimana perkembangan media seharusnya diikuti oleh tuntutan kepada media untuk memiliki suatu tanggungjawab sosial. Kebebasan yang dimiliki media perlu disertai tanggungjawab sosial dan dan kecenderungan berorientasi pada kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok. (Wibowo, 1997: 58).
Karena itulah, tv komunitas harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat setempat. Media komunitas ini diharapkan juga mampu merangsang dialog sebagai bagian dari proses demokrasi dan kontrol sosial, selain memberikan akses kearifan bagi budaya lokal. TV komunitas hadir sebagai media pemberdayaan bagi warga sekitar. Ia memberikan pemahaman dan kesadaran pada masyarakat tentang hak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan warga, hiburan yang mendidik, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, perekat sosial hingga penghargaan terhadap kebudayaan serta kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat.
Melalui tv komunitas, khalayak pemisa TV bukan hanya menjadi obyek sasaran siaran televisi, melainkan juga sebagai subyek dan terlibat dalam program siaran televisi komunitas. Khalayak pemirsa menentukan isi siaran yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya setempat. Pendek kata, kedaulatan media komunitas berada ditangan khalayaknya. Jika selama ini khalayak pemirsa tv hanya mampu menjadi penonton, melalui tv komunitas mereka berkesempatan untuk berekspresi, memberikan nilai dan penghargaan pada entitas local, sekaligus menilai, menganalisis, dan memilah informasi dan hiburan yang disajikan oleh televisi komunitas.
*) Bahan tulisan internal
Daftar Bacaan :
1. MC Quail, Denis, Teori Komunikasi Massa, erlangga, Jakarta 1996.
2. Malik, Dedy Jamaluddin, Jurnalisme Islam dan Ukhuwah Islamiyah, Bentang, Yogakarta, 1997.
3. Wibowo, Fred, Dasar-Dasar Produksi Program Televisi, Gramedia, Jakarta 1997.
4. Berita Kompas 30/5/2007, TV Komunitas Bebaskan Ketertinggalan Informasi.
5. Undang-undang Penyiaran No 32 Tahun 2003.
6. Peraturan Pemerintah No 51 Tentang Lembaga Penyiaran Komunitas Tahun 2005.
Kemunculan televisi komunitas di Indonesia sebagai salah satu bentuk media komunitas, tidak terlepas dari situasi politik pasca tumbangnya orde baru. Seiring dengan era keterbukaan pasca tumbangnya Soeharto tersebut, dinamika media mengalami perubahan setelah bertahun-tahun terpasung dalam kebijakan politik rezim. Pada masa Orde Baru, media hidup dibawah kondisi politik yang monopolistik dan represif. Eksistensi media sebagai institusi sosial direduksi menjadi instrumen politik rezim. Akibatnya fungsi media sebagai kontrol sosial tidak dijalankan dengan baik.
Menurut Dennis Mc Quail (Mc Quail, 1996:82), situasi kehidupan media yang hidup dibawah tekanan penguasa menunjukan bahwa keberadaan dan kadar kekuasaan media dalam masyarakat ditandai oleh luasnya jangkauan, keterpencilan institusi, isolasi individu, dan kurangnya integrasi masyarakat setempat, sehingga menunjukan bahwa media dapat dikendalikan atau dikelola secara monopolistik untuk dijadikan sebagai alat utama efektif dalam mengorganisasi massa, seperti khalayak, konsumen, pasar dan pemilih. Media massa biasanya merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi serta kepuasan jiwani.
Sebelum iklim keterbukaan media di Indonesia terjadi, media dikontrol sangat ketat oleh pemerintah. Selama bertahun-tahun hanya ada 1 (satu) siaran televisi yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai stasiun milik pemerintah. Baru pada tahun 1990-an muncul media televisi nasional, yakni RCTI dan TPI, yang ternyata kedua media televisi swasta tersebut dimiliki anak dan kerabat rezim yang berkuasa waktu itu. Proses diseminasi informasi berjalan timpang, karena bersifat sentralistik, top-down. Pemirsa televisi dipaksa untuk menerima segala informasi yang disiarkan media televisi. Tidak jarang, hegimoni pemerintah berkuasa terhadap rakyat melalui televisi dilakukan atas nama stabilitas nasional. Semua hal yang dilakukan pemerintah menjadi benar, tidak ada ruang untuk mengkritisi kebijakan negara melalui media televisi.
Setelah reformasi bergulir seiring kebijakan politik yang terjadi, media bertumbuhan bak cendawan di musim hujan. Departemen Penerangan pada era kepemimpinan Habibie telah memberikan ijin prinsip bagi 5 (lima) stasiun TV baru di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No 286/SK/Menpen/ 1999, sehingga akhirnya khalayak pemirsa TV di Indonesia tersuguhi berbagai tayangan dari 10 (sepuluh) stasiun TV swasta komersial dan 1 (satu) stasiun TV publik (TVRI), menyusul dikemudian hari berbagai layanan TV berbayar (kabel).
Pesatnya pertumbuhan televisi di Indonesia dengan hadirnya berbagai tayangan dilayar kaca, ternyata juga menyisakkan sejumlah persoalan. Berbagai analisa dampak siaran televisi menunjukan adanya permasalahan yang cukup rumit. Kekerasan, seksualitas, dan berbagai tayangan ditelevisi yang jauh dari realitas social , dikritik oleh berbagai pihak karena dianggap menjadi penyebab berbagai kemerosotan moral dan kemanusiaan. Perilaku kekerasan, hedonisme, konsumerisme, dan hilangnya insting kemanusiaan tumbuh dan bekembang. Itu merupakan cermin perubahan nilai yang mulai bergeser.. Hal tersebut memang tak terhindari, ketika televisi menjadi media dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan. (Mc Quail, 1996:3).
Menilik pada persoalan tersebut, munculah kesadaran untuk mendorong tumbuhnya media lain sebagai alternatif oleh para penggiat lembaga swadaya masyarakat yang berbasis media atau civitas akademika yang concern pada upaya pendidikan melek media (media literasi). Media alternatif ini dikenal dengan sebutan media komunitas, yang salah satunya berupa televisi komunitas.
Dalam sebuah diskursus tentang TV Komunitas yang difasilitasi Kelompok Kerja (Pokja) TV Komunitas Indonesia di Yogyakarta, muncul perdebatan tentang batasan komunitas. Sebagian penggiat tv komunitas mengatakan bahwa, batasan komunitas adalah pendekatan geografis (wilayah) sesuai dengan satu aturan perijinan pendirian lembaga penyiaran komunitas mensyaratkan adanya dukungan 250 warga dewasa yang berdomisili di sekitar stasiun tv komunitas. Sementara bagi penggiat tv komunitas yang berbasis sekolah/kampus memiliki cara pandang yang berbeda. Kedua perbedaan pendapat ini mengkerucut pada satu kesamaan visi, dimana tv komunitas sebagai media alternatif harus berperan dalam memberdayakan komunitasnya. Baik itu berbasis sekolah/kampus atau warga, kesemuanya memiliki tanggungjawab sosial pada komunitasnya. Dimana, warga tidak hanya menjadi “penonton” tayangan televisi, namun juga berperan sebagai subyek atau pelaku tv komunitas itu sendiri.
Maka salah satu ciri dari tv komunitas sebagai lembaga penyiaran komunitas adalah keberadaan lembaga penyiaran ini dari, oleh dan untuk komunitasnya. Istilah lain adalah sebagai media partisipatif yang mensyaratkan keterlibatan komunitas didalamnya. Semakin banyak keterlibatan warga dalam lembaga penyiaran komunitas (diversity of ownership), akan mendorong adanya keberagaman isi siaran (diversity of content) yang semakin baik.
Kebaradaaan tv komunitas jika terkait dengan regulasi pemerintah, saat ini belum menggembirakan. Implementasi UU Penyiaran No 32 tahun 2003 banyak ditentang, khususnya oleh kalangan industri penyiaran (televisi komersial) karena dianggap menghambat ‘bisnis” para konglomerat media di Indonesia karena harus berjaringan, larangan monopoli dan berbagai aturan peralihan yang diangap bisa menghambat laju bisnis mereka.
Sementara bagi kalangan masyarakat sipil pro-demokrasi, UU Penyiaran merupakan keniscayaan agar demokratisasi dalam bidang penyiaran terwujud seiring semangat reformasi. Media penyiaran merupakan alat kontrol masyarakat yang cukup efektif. Media juga mampu menampilkan citra buatan mengenai realitas sosial. (Malik, 1997:15). Dimana sifat media yang bisa mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku massa . Sehingga kepemlikan (ownership) atas media sebaiknya diatur dan ada mekanisme kontrol terhadapnya. Karena dikhawatirkan, kepemilikan yang monopoli oleh kalangan pebisnis terhadap media penyiaran , akan menjadikan media itu sebagai katup pengaman bisnisnya dari kritikan masyarakat. Beberapa fenomena sosial, misalnya kasus lumpur lapindo di Pasuruan Jawa Timur, membuktikan hal itu. Salah satu televisi swasta di Indonesia sangat jarang memberitakan soal Lapindo, dan bahkan tidak pernah menyebut kata “Brantas”, karena dianggap terlalu “dekat” dengan induk perusahaan tempat stasiun televisi tersebut bernaung.
Salah satu semangat dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, adalah desentralisasi penyiaran, dimana memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan watak, adat, budaya, dan tatanan nilai/norma setempat. Undang-undang ini juga memberikan celah bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam bidang penyiaran. Pendek kata, masyarakat diberi ruang untuk tidak lagi menjadi obyek penyiaran, namun bisa berperan dalam mewarnai dunia penyiaran. Salah satu point penting bagi masyarakat adalah ketersediaan aturan mengenai media penyiaran bagi mereka. Menurut UU Penyiaran No 32 Tahun 2003, tersebutlah keberadaaan Lembaga Penyiaran Komunitas (TV dan Radio Komunitas), bersanding dengan 3 (tiga) lembaga lain yakni Lembaga Penyiaran Publik (RRI dan TVRI), Lembaga Penyiaran Swasta (radio & TV Swasta) serta Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Karut-marut regulasi penyiaran di Indonesia semakin panjang, setelah silang sengketa antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Demkominfo, tentang pembagian kewenangan dan diberlakukannya beberapa peraturan pemerintah yang dianggap bertolak belakang dengan semangat dalam UU Penyiaran tersebut diatas.
Kemunculan televisi komunitas, sesungguhnya merupakan tonggak sejarah baru dalam dunia penyiaran di Indonesia . Media komunitas hadir sebagai wujud pendidikan literasi media, setelah pada masa sebelumnya (Orde Baru dan pasca Reformasi) masyarakat terpinggirkan dalam penggunaan ranah publik (frekuensi). Jika pada masa orde baru, masyarakat hanya mampu menjadi penonton dan obyek sasaran penanaman ideologi politik otoritarinisme, yang menjauhkan masyarakat dari nilai keberagaman dan demokratisasi, disusul kemudian menjadi obyek sasaran bisnis yang mendorong masyarakat berperilaku konsumtif oleh media-media penyiaran swasta setelah reformasi, saatnya masyarakat mengambil peran dalam media penyiaran sebagai subyek yang memilah, memilih, dan mengontrol siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat.
TV komunitas diharapkan menjawab ketimpangan yang terjadi sekarang. Dimana perkembangan media seharusnya diikuti oleh tuntutan kepada media untuk memiliki suatu tanggungjawab sosial. Kebebasan yang dimiliki media perlu disertai tanggungjawab sosial dan dan kecenderungan berorientasi pada kepentingan umum, baik secara individual maupun kelompok. (Wibowo, 1997: 58).
Karena itulah, tv komunitas harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat setempat. Media komunitas ini diharapkan juga mampu merangsang dialog sebagai bagian dari proses demokrasi dan kontrol sosial, selain memberikan akses kearifan bagi budaya lokal. TV komunitas hadir sebagai media pemberdayaan bagi warga sekitar. Ia memberikan pemahaman dan kesadaran pada masyarakat tentang hak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan warga, hiburan yang mendidik, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, perekat sosial hingga penghargaan terhadap kebudayaan serta kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat.
Melalui tv komunitas, khalayak pemisa TV bukan hanya menjadi obyek sasaran siaran televisi, melainkan juga sebagai subyek dan terlibat dalam program siaran televisi komunitas. Khalayak pemirsa menentukan isi siaran yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya setempat. Pendek kata, kedaulatan media komunitas berada ditangan khalayaknya. Jika selama ini khalayak pemirsa tv hanya mampu menjadi penonton, melalui tv komunitas mereka berkesempatan untuk berekspresi, memberikan nilai dan penghargaan pada entitas local, sekaligus menilai, menganalisis, dan memilah informasi dan hiburan yang disajikan oleh televisi komunitas.
*) Bahan tulisan internal
Daftar Bacaan :
1. MC Quail, Denis, Teori Komunikasi Massa, erlangga, Jakarta 1996.
2. Malik, Dedy Jamaluddin, Jurnalisme Islam dan Ukhuwah Islamiyah, Bentang, Yogakarta, 1997.
3. Wibowo, Fred, Dasar-Dasar Produksi Program Televisi, Gramedia, Jakarta 1997.
4. Berita Kompas 30/5/2007, TV Komunitas Bebaskan Ketertinggalan Informasi.
5. Undang-undang Penyiaran No 32 Tahun 2003.
6. Peraturan Pemerintah No 51 Tentang Lembaga Penyiaran Komunitas Tahun 2005.
Subscribe to:
Posts (Atom)